Berjuanglah Para Ksatria
Oleh: Markus Kurniawan
SØren Aabye Kierkegaard (1813-1855),seorang filsuf yang berasal dari Denmark dalam salah satu bukunya membahas mengenai ‘lompatan iman’ (leap of faith). Yang dimaksudnya adalah tindakan manusia yang melampaui batas-batas rasio dan bukti-bukti logis. Manusia harus berani melakukan ‘lompatan ‘ ini ketika akal tidak dapat lagi memberi kepastian (Fear and Trembling, 1843). Kierkegaard, menafsirkan peristiwa yang dicatat dalam kitab suci, mengenai tindakan Abraham yang atas perintah Tuhan mengorbankan anaknya. Abraham merupakan ksatria iman (knight of faith) karena secara absurd (tidak pasti, tidak masuk akal) percaya bahwa ia akan mendapatkan Ishak Kembali setelah melakukan perintah Tuhan untuk membunuhnya. Abraham bertindak tanpa adanya jaminan kepastian yang berasal dari rasio melainkan dari iman.
Dia meyakini bahwa hubungan yang autentik dengan Tuhan tidak mungkin di dapat lewat rasio manusia melainkan melalui keputusan iman. Rasio harus ‘dilompati’ untuk masuk kedalam iman yang subyektif. Bagi Kierkegaard ini adalah keputusan eksistensial yang penuh resiko dan paradoks. Pandangan ‘lompatan iman’ ini dikritik antara lain oleh Albert Camus dalam Le Mythe de Sisyphe (1942).
Terlepas dari kritik Camus -yang menurut saya ada benarnya- pandangan Kierkegaard (sekalipun dalam konteks yang berbeda) dengan mudah kita dapat temui dalam realitas sekarang. Awal tahun ini di media sosial (X,Instagram, TikTok) ramai tagar ‘Kabur Aja Dulu’ dan ‘Indonesia Gelap’ keduanya mencerminkan kegelisahan, keputusasaan, serta kemarahan publik terhadap para pemangku jabatan di negara ini yang di nilai tidak peduli pada rakyat. Kritik cerdas itu ditanggapi dingin oleh pemerintah, hasilnya kondisi memang semakin sulit, khususnya secara ekonomi.
Pemerintah berkelit menyatakan bahwa kondisi ekonomi kita membaik, lantas untuk membenarkan diri, mengeluarkan tumpukan data berisi angka-angka dan analisa para ahli (yang tentu saja sudah ‘dikondisikan’). Para elit berkelit menyalahkan rakyat. Rakyat menjerit, dalam kenyataan sehari-hari. Lapangan kerja semakin sulit, ekonomi semakin susah, kebebasan bersuara semakin dibatasi. Tapi rakyat menolak menyerah karena menyerah berarti mati. Perut tetap harus diisi, anak tetap harus sekolah, yang sakit tetap harus diobati tidak peduli ada empati atau tidak dari para penguasa. Kondisi memaksa rakyat untuk menjadi para ksatria iman (knight of faith) karena absurditas dimana-mana. Iman menjadi selimut sehari hari. Tetaplah berjuang para ksatria.