Belajar dari Musa

Oleh: Arcadius Benawa

Tahun 1995 saya berkesempatan ziarah ke Tanah Suci Yerusalem. Pertama kali saya mendaki ke gunung Sinai. Kalau melihat anak tangga yang harus didaki dan batu karang serta panasnya cuaca kala itu bisa bikin nyali ciut. Namun karena saya bertekad mengikuti ziarah penuh seraya merasakan seperti apa sih Musa saat itu harus mendaki puncak gunung Sinai, saya memanjat setapak demi setapak dengan nafas ngos-ngos-an. Namun agar tidak sengal, saya mencoba nafas dengan teratur, yakni saat kaki kanan naik tarik nafas saya batin kata “Ye” dan ketika kaki kiri menyusul saya lepas nafas saya batinkan kata “Sus”.

Dengan cara itu rupanya membantu saya yang bernafas pendek ini bisa sampai ke puncak Sinai. Namun saya tidak mau cerita lebih jauh tentang pengalaman saya di gunung Sinai. Saya hanya mau bersehati dengan emosi Musa saat turun dari gunung Sinai dan mau menyampaikan pesan Yahwe kepada Umat Israel yang dipimpinnya saat itu yang ternyata malah sedang hiruk pikuk berasyik masyuk bikin lembu emas tuangan.

Saking emosinya hingga Musa yang capek dari turun gunung Sinai sehingga ia membanting kedua loh batu yang mestinya mau ia jelaskan pada Israel. Beruntung dengan penjelasan Imam Harun yang tak kuasa menghadapi sungut-sungut Umat Israel saat itu, emosi Musa mulai mereda. Ia tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh emosi amarah, namun Musa sadar bahwa ia harus tetap memperjuangkan keselamatan Umat yang dipercayakan Yahwe kepadanya. Sadar bahwa apa yang dilakukan Israel merupakan dosa besar karena bukan menyembah Yahwe malah membikin lembu tuangan, Musa naik kembali ke puncak Sinai untuk memohonkan ampun atas dosa besar yang telah dilakukan Umat Israel.

Apa yang menjadi pengalaman Musa mutatis mutandis bisa juga menjadi pengalaman kita. Kita memperjuangkan kebaikan anggota atau kawan, atau keluarga, atau kelompok, dan dalam rangka itu kita kadang harus berani menembus tantangan, dan setelah kita berhasil menemukan titik terang ataupun solusi demi kebaikan anggota kelompok kita, eee ternyata yang dilakukan anggota kelompok yang kita bela dan kita perjuangkan justru melakukan yang bertentangan dengan arah langkah yang akan kita kemukakan sebagai jalan keselamatan atau solusi. Emosi menjadi taruhannya, karena bagaimanapun kita manusia yang bertubuh, berjiwa, dan beroh. Ketika emosi yang mendominasi, amarahlah yang memenuhi pikiran dan kata-kata kita. Kita perlu mediator yang dapat meredakan emosi kita untuk dapat lebih jernih dan sadar akan visi dan misi perjuangan kita.

Demikianlah Musa kembali naik ke Puncak Sinai untuk mohon ampunan Tuhan atas dosa-dosa Umat yang dipercayakan kepadanya dan kembali mengingatkan Israel untuk taat pada Yahwe dengan menjunjung tinggi 10 perintah Allah tersebut.

Semoga kita pun cepat reda bila emosi agar tidak salah langkah atau disorientasi terhadap visi dan misi perjuangan yang menjadi komitmen kita. Emosi amarah hanya membawa keretakan relasi, namun berempati membuat kita lebih bisa bermurah hati dan rela memberikan ampunan yang mencerahkan demi ditemukannya solusi yang selaras dengan komitmen untuk mencapai visi dan misi semula. Semoga.

Arcadius Benawa