Nama Haji Saprin Hanya Ada di Indonesia

Oleh: Agung Setiawan, S. Hum., M. Hum.

Saprin, nama yang berasosiasi makna dengan Safar dalam bahasa Arab dan merupakan bulan kedua dalam penanggalan Hijriyah bermakna perjalanan atau berpergian. Safar juga berarti sepi atau sunyi menyoroti tradisi masyarakat Arab yang banyak berpergian untuk berdagang ke seluruh penjuru pada bulan ini, sehingga tempat yang ditinggalkan menjadi sepi dan kosong. Kita juga familiar dengan istilah musafir atau orang yang melakukan safar untuk membedakannya dengan muqim yang berarti menetap dalam bahasa Arab. Secara kontekstua;  terutama pada musim Haji saat ini banyak sekali para calon jamaah haji mengadakan Walimatus Safar atau Jamuan Keberangkatan perjalanan haji. Tradisi perpisahan jamaah haji ini dilakukan oleh semua kalangan masyarakat calon jamaah haji termasuk dari kalangan selebriti. Secara bahasa, kata haji berasal dari bahasa Arab “al-Hajj” yang berarti menyengaja atau bermaksud mengunjungi, dalam konteks ini berarti bermaksud mengunjungi Kabah di Mekah demi menunaikan ibadah haji. Sehingga jelas dari akar sejarah penamaan bulannya pun dinamakan Dzulhijjah atau bulan haji dan merupakan bulan terakhir dalam penanggalan Hijriyah. Selain itu, istilah familiar lainnya seperti safari politik, safari kenegaraan hingga safari dakwah juga berangkat dari makna yang serupa. Namun yang membedakan dari safari tersebut adalah adanya pemberian gelar Haji di depan nama para jamaah yang sudah menunaikan ibadah haji ketika mereka kembali dari Mekah. Lalu apa korelasinya antara nama Saprin dengan seluk beluk penyematan gelar Haji pada setiap jamaah haji yang pulang kembali ke tanah air?.

Haji Saprin sebagai sebuah nama merepresentasikan bukti perjalanan ibadah suci sudah dilaksanakan dan jamaah yang dimaksud sudah bertolak pulang dari Mekah kembali ke tempatnya bermukim. Dalam artian ini, tujuan kesuksesan ibadah yaitu predikat haji mabrur diharapkan mampu diraih jamaah yang sudah lebih dari sebulan penuh menjalani prosesi berat rangkaian ibadah haji. Secara personal terlepas dari itu semua, Saprin adalah nama Bapak saya yang sudah berpulang terlebih dulu ke Rahmatullah dan belum sempat disematkan gelar Haji dan sudah mendapatkan gelar Almarhum di depan namanya. Sama seperti namanya dan begitu pun kita semua, dalam hidup ini pasti akan selalu melakukan perjalanan. Dari perjalanan biologis, psikologis, perjalanan pendidikan, perjalanan pekerjaan, perjalanan cinta dan kedewasaan, perjalanan usia, perjalanan kesehatan hingga perjalanan menuju kehidupan kekal. Perjalanan merupakan suatu hal yang niscaya dalam kehidupan dunia sampai kita menuju tempat kita bermukim nantinya di akhirat. Dunia bukanlah tempat akhir dari sebuah pengabdian kita, disaat perjalanan masih sangat panjang di depan sana. Selama di dunia, kita hanyalah musafir yang kadang beristirahat dan harus terus melanjutkan kunjungan kita yang sementara ini di dunia. Tak ubahnya seperti calon jamaah haji yang penuh persiapan keberangkatan, setiap kunjungan perjalanan usia kita di dunia ini pun harus menyiapkan bekal namun untuk kehidupan kekal. Setiap kepergian dalam apapun perjalanannya pasti menyisakan kesepian bagi yang ditinggalkan bahkan kesepian yang begitu menyedihkan. Perjalanan Haji merupakan salah satu dari sekian banyak perjalanan yang akan, sedang, sudah dan belum tentu umat muslim lalui. Rukun Islam Kelima ini dilaksanakan bagi umat muslim yang terkategorisasi mampu baik mental maupun finansial. Meskipun demikian perjalanan yang pasti dan sudah ditentukan tidak mungkin kita tolak yaitu kematian, sebuah kepergian dalam perjalanan menuju alam keabadian. Hidup ini adalah proses menggenapi setiap kunjungan yang ditentukan bagi manusia di dunia, sehingga bisa pulang kembali pada pangkuan Ilahi dengan membawa gelar Almarhum yang artinya “yang dirahmati Allah”. Mungkin tidak semua umat muslim merasakan haji namun bisa dipastikan kita semua merasakan mati. Mungkin tidak semua orang yang bernama Saprin memiliki gelar Haji di depan namanya seperti halnya ayah saya dan itu pun yang membuat kami sebagai anak menjadi begitu sedih karena masih sangat kurang berbakti, namun setiap yang bernama Saprin pasti akan pergi meninggalkan dunia menuju tempat bermukim yang kekal nanti.

Nama Haji Saprin hanya ada di Indonesia memang tidak bisa dipungkiri lantaran hanya di Indonesia lah dari seluruh negara di dunia yang memiliki sejarah penyematan Haji sebagai gelar. Meskipun nama Saprin ada di negara-negara selain Indonesia terutama negara-negara muslim, akan tetapi secara khusus nama Haji Saprin hanya ada di Indonesia. Fenomena ini berbeda dengan negara-negara muslim lain yang tidak memiliki sejarah sosio-kultural terkait penambahan gelar Haji di depan nama para jamaah haji seusai menunaikan ibadah haji. Tak disangka awalnya penyebutan gelar Haji diperuntukkan sebagai taktik pemerintah kolonial Belanda sebagai kontrol politik umat muslim di Hindia Belanda. Kehawatiran terhadap pemberontakan mulai membayangi pemerintah kolonial Belanda dikarenakan pada tahun 1824 terjadi lonjakan pengajuan paspor haji ke kantor imigrasi, sebanyak 200 penduduk pribumi mendaftar. Dalam perspektif politis, pemerintah kolonial Belanda takut kewalahan jika terjadi 200 potensi pemberontakan sekaligus karena banyak perlawanan yang muncul biasanya diakomodasi oleh pemuka agama. Selain itu, pergerakan perlawanan terhadap penindasan serta penjajahan merupakan sebuah jihad fi sabilillah dalam perspektif islam. Keterbukaan pikiran dan tumbuhnya semangat nasionalisme dimediasi melalui jalur agama, terutama para pemuka agama yang sering berinteraksi secara global dengan warga dunia lainnya dalam prosesi haji. Terbukti dengan pecahnya perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro pada tahun 1825-1830 melibatkan ribuan santri dan berhasil melemahkan sumber daya pemerintah kolonial. Haji menjadi persoalan politik serius terutama ketika dikeluarkannya aturan Ordonansi Haji pada tahun 1825 oleh kolonial Belanda untuk membatasi dan memperketat jumlah jamaah yang berangkat dengan menaikkan biaya haji.

Dalam bukunya, Indonesia dan Haji (1997), Jacob Vredenbregt mengungkapkan setidaknya ada dua Gubernur Jenderal yang menyadari bahaya politik yang dibawa para haji yaitu Herman Willem Daendels dan Thomas Stamford Raffles. Bahkan secara eksplisit, Raffles mengatakan dalam bukunya, The History of Java bahwa, “ Karena para haji begitu dihormati, maka tidak sulit bagi mereka untuk mendorong rakyat agar melawan dan mereka menjadi alat paling berbahaya di tangan penguasa”. Regulasi terkait haji ini muncul kembali pada Ordonansi Haji tahun 1859 yang berisikan aturan bagi setiap jamaah haji yang pulang harus menyandang gelar Haji dan diwajibkan mengenakan pakaian khusus berupa jubah, sorban putih atau kopiah putih. Hal ini dinilai efektif secara politis dikarenakan mempermudah pemerintah kolonial Belanda untuk menandai, mengawasi, mengontrol siapa saja yang bergelar Haji dengan atribut khusus. Jika terjadi pemberontakan di daerah-daerah, maka siapapun yang bergelar Haji di daerah tersebut akan diinterogasi. Begitu pun yang dirasakan para pemimpin pergerakan nasionalisme di awal abad 20 seperti Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Haji Misbach, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya. Tokoh-tokoh seperti ini yang kemudian dinamakan “Haji politis” dalam pandangan Snouck Hurgronje, seorang penasehat Hindia Belanda yang memberikan perspekif politik bagi kolonial Belanda terkait Islam. Menurut nya predikat haji politis inilah yang perlu dikhawatirkan karena mereka mendalami islam dari para ulama terkemuka di dunia yang anti-kolonialisme. Sedangkan haji-haji lainnya yang hanya beribadah atau bahkan yang hanya sekedar status sosial belaka tidak perlu ditakuti. Oleh karena itu dikeluarkanlahh Ordonansi Haji terbaru pada awal abad ke-20 yang memberikan kemudahan bagi setiap penduduk untukmelaksanakan haji. Tujuan dari Ordonansi tersebut adalah menaikkan jumlah haji dengan harapan membuat gelar Haji akan makin terasa biasa di mata masyarakat sehingga kehilangan kekuatan politis nya. Kekuatan politis itu dicurigai datang karena sedikit yang bergelar Haji sehingga posisi mereka di mata masyarakat sangat istimewa dan mudah untuk membuat pergerakan. Namun ibadah haji tetaplah bernilai sakral terutama dalam upaya seorang hamba untuk mendekat pada Sang Penciptanya terlepas dari sejarah penyematan gelar Haji sebagai taktik politik maupun sebagai status sosial untuk kepentingan duniawi. Prosesi Haji tetaplah sebuah momentum penghayatan sebagai tamu Allah yang mulia yang mengajarkan pada kesetaraan semua manusia tanpa terkecuali. Haji juga mengajarkan kesabaran dan keikhlasan untuk berkorban dan berjuang mengikuti arus yang dikehendaki Nya. Prosesi Haji juga menjadi momentum kilas balik cerita tentang ketaatan, perjuangan, rasa cinta, pengorbanan, keikhlasan dan kesabaran dari hubungan bapak dan anaknya, Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as.

Agung Setiawan, S. Hum., M. Hum