Rahmat Khas di Balik Peralihan Paus dari Eropa ke Amerika Latin

Oleh:  Petrus Lakonawa

Bagi saya secara pribadi, peralihan kepemimpinan Gereja Katolik dari Eropa ke Amerika Latin merupakan sebuah rahmat yang khas dan Istimewa bagi seluruh isi Gereja Katolik. Peristiwa ini tidak hanya mencerminkan hijrah geografis, tetapi juga mengikutsertakan pergeseran paradigma —baik secara sadar maupun tidak—pada pucuk pimpinan tertinggi Gereja Katolik, dari Paus Benediktus XVI menuju Paus Fransiskus dan Paus Leo XIV yang tentunya sangat menentukan kehidupan seluruh isi Gereja Katolik sejagat.

Saya menyebutnya peralihan dari paradigma khas Barat (Eropa) dan semacamnya (Amerika Utara) yang, walau tidak bisa digeneralisasikan begitu saja, biasanya cenderung ‘angkuh’ dan merasa diri ras paling unggul serta ‘paling hebat’ sehingga tidak memerlukan yang lain menuju cara pandang yang dipengaruhi oleh pengalaman keterjajahan dan kemiskinan yang begitu nyata di Amerika Latin dan negara-negara berkembang.

Paus Fransiskus maupun Paus Leo XIV tumbuh dan mengabdi di tengah-tengah masyarakat miskin bekas jajahan Eropa yang masih berjuang untuk sungguh-sungguh lepas dari ketidakadilan struktural. Perjuangan tersebut telah melahirkan cara pandang dan cara berteologi yang khas Amerika Latin yang dikenal sebagai Teologi Pembebasan. Teologi ini berpihak pada orang-orang yang dimiskinkan secara struktural dan yang mengupayakan pembebasan mereka dari belenggu ketidakadilan sosial. Teologi ini berakar pada keyakinan spiritualitas pembebasan bahwa Allah bersemayam dalam diri orang-orang tertindas. Dalam penderitaan mereka, Allah mengetuk hati dan belas kasihan sesama untuk membela, menolong, dan membebaskan mereka.

Untuk waktu yang cukup lama, teologi pembebasan yang khas Amerika Latin ini sempat dicurigai oleh dunia Barat, teristimewa oleh orang-orang konservatif, bahkan oleh Vatikan sendiri—khususnya oleh Kongregasi Ajaran Iman (CDF)—karena dianggap terlalu dekat dengan pendekatan marxis-leninis yang cenderung mereduksi makna dan upaya pembebasan menjadi semata-mata pembebasan material duniawi (bdk. pertentangan kelas dan revolusi a la marxisme-leninisme), dan mengabaikan aspek spiritual serta iman.

Sebagaimana diamati oleh banyak pihak, Paus Fransiskus mengambil jalan moderasi terhadap berbagai ketegangan terkait pemikiran teologi pembebasan (lihat: https://link.springer.com/…/10.1007/s41603-021-00137-3…) namun sangat simpatik terhadap semangatnya. Hal tersebut terlihat dalam berbagai keteladanannya membela dengan gigih para korban kezaliman, orang-orang tertindas, dan kaum terbuang. Khususnya lagi, adalah dukungannya terhadap proses kanonisasi Uskup dan martir Oscar Romero, seorang pengusung teologi pembebasan yang ditembak mati lantaran berpihak kepada orang-orang tertindas di El Salvador. Selain itu, Leonardo Boff—seorang teolog pembebasan yang sempat dibungkam oleh CDF—justru diajak oleh Paus Fransiskus untuk turut menggagas ensiklik Laudato Si. Leonardo Boff sendiri pernah memuji Paus Fransiskus dengan mengatakan, “Fransiskus adalah salah satu dari kita. Ia telah menjadikan teologi pembebasan sebagai milik bersama Gereja dan, lebih dari itu, ia telah memperluasnya.” (“Francis is one of us. He has made liberation theology the common property of the church and he has, moreover, extended it.”)

Kini, Paus baru, Paus Leo XIV, membawa serta harapan yang sama. Ia telah menjalani kehidupan misioner yang penuh makna di antara orang-orang miskin di Peru—tanah kelahiran teologi pembebasan. Di sanalah, di Peru, Gustavo Gutiérrez, Bapak Teologi Pembebasan berasal dan di sanalah Gustavo Gutiérrez merefleksikan penderitaan umatnya di tengah kemiskinan dan penindasan yang menghasilkan pemikiran-pemikiran teologi pembebasan yang kemudian menyebar luas dan memengaruhi Amerika Latin dan dunia.

Saya berharap dan percaya bahwa Paus Leo XIV, yang telah menyatu dengan umatnya di Peru dan dipengaruhi oleh semangat teologi pembebasan serta cara menggereja khas Amerika Latin, akan melanjutkan legacy Paus Fransiskus termasuk melanjutkan semangat khas teologi pembebasan tersebut dan, akan, seperti kata Leonardo Boff tentang Paus Fransiskus, “…memperluasnya.”

Semoga!

Catatan:

Untuk mengenal lebih lanjut walau singkat mengenai teologi pembebasan, silakan baca tulisan ringkas saya di website Character Building Development Center (CBDC) – BINUS University melalui tautan berikut: https://binus.ac.id/…/gustavo-gutierrez-dan-teologi…/

Petrus Lakonawa