Penalaran Kebangsaan dalam Pidato Bung Karno sebagai Pernyataan Politik yang Menandai Hari lahirnya Pancasila

Oleh: Agung Setiawan, S. Hum., M. Hum.

Penalaran Kebangsaan Bung Karno yang disebut sebagai Pancasila memang diperuntukkan sejak awal sebagi modus berada rakyat Indonesia dalam dunia merdeka. Penalaran yang disarikan dari berbagai pandangan nusantara hingga internasional ini dikemas sebagai sebuah pernyataan politik untuk menggugah para tokoh bangsa pada sidang BPUPKI.  Dalam disiplin ilmu penalaran atau ilmu logika, Pernyataan politik harus dikemas sedemikian rupa sehingga mampu merebut emosi dan simpati publik untuk dapat menyetujui, menerima serta meyakini apa yang disampaikan itu sebagai sesuatu yang benar sehingga nantinya sikap tertentu sebagaimana yang diinginkan dapat ditunjukkan. Bahasa politik bukanlah bahasa yang informatif melainkan persuasif dan ekspresif. Bobot suatu pernyataan politik akhirnya bergantung kepada apa dan bagaimana respons publik terhadap pernyataan politik yang disampaikan. Pernyataan politik tidak ditujukan sebagai pernyataan dengan tata nalar yang sepenuhnya logis tapi jutsru harus didukung muatan etis untuk untuk membakar emosi pendengar agar menyetujui apa yang disampaikan. Tak heran jika kita mengutip teks pidato bung karno yang direkonstruksi oleh BPUPKI dan tersimpan rapi sebagai arsip nasional dibukukan dengan judul “Lahirnya Pancasila”, bahwa akan kita dapati banyak sekali transkrip berupa tepuk tangan para peserta rapat dari semua kalangan. Oleh karena itu usulan tentang dasar negara ini tidak sulit diterima secara bulat dengan aklamasi dan pemakaian istilah Pancasila untuk pertama kalinya diresmikan sebagai Hari Lahirnya Pancasila.

Naskah Pidato Bung Karno yang ditransripkan hampir 20 halaman, secara kontekstual memuat banyak sekali ide-ide kebangsaan yang disarikan beliau menjadi penalaran kebangsaan dan mengerucut pada akhir pidato dengan disebutkannya istilah Pancasila. Pidato yang merefleksikan keinginan dari ketua serta peserta sidang berupa “dasarnya Indonesia” atau dalam naskah disebutkan sebagai philosofische grondslag yaitu fundamen, filsafat serta jiwa dan hasrat yang sedalam-dalamnya bagi berdirinya Indonesia merdeka yang kekal dan abadi. Melalui dialektika panjang tentang istilah “Merdeka” sebagai sebuah kemerdekaan politik, berkaca dari sejarah perjalanan dunia secara faktual kemerdekaan negara-negara di dunia seperti Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Amerika merdeka, Rusia merdeka, Nippon merdeka hingga Mesir merdeka. Namun bagi beliau isi atau muatan kemerdekaan yang seperti apa yang membedakan negara-negara tersebut. Disinggung juga terkait syarat untuk merdeka tidak diukur dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada negara yang dijajah tapi justru semangat untuk menggapai itu semua yang harus dilakukan sekarang juga tanpa perlu gentar hati. Pidato ini berhasil memantik semangat para pemuda yang ada saat sidang mengukuhkan komitmen mereka untuk mempertahankan dan membela negara. Setiap penalaran yang dilakukan beliau melibatkan perbandingan internasional antara negara seperti yang paling banyak disebutkan yaitu Saudi Arabia, Rusia, Amerika dan Inggris beserta pemikiran para filsuf hingga intelektual negara-negara tersebut.

Ada pula pernyataan politik,”Kita ini berani merdeka atau tidak?” dari beliau juga disandingkan dengan konteks keberanian untuk menikah. Hal tersebut makin memperjelas target pendengar beliau yang kebanyakan adalah para pemuda. Merdeka tidak hanya dalam batin tapi harus diungkapkan bahkan diperjuangkan. Intinya bagi beliau jika setiap permasalahan kebangsaan untuk bersatu harus diselesaikan terlebih dahulu seperti masalah pendidikan dan kesehatan, sampai kapan pun kita tidak akan merdeka. Syarat kemerdekaan bukan itu semua bagi beliau tapi cukup bumi, rakyat dan pemerintah yang teguh. Dilanjutkan lagi dengan pertanyaan beliau kepada audiens, “Mau merdeka apa tidak?” yang dijawab bulat “Mau” oleh semua hadirin.

Hal dasar yang menjadi inti pembicaraan berikutnya dari Bung Karno adalah terkait bahwa setiap negara merdeka, beliau mengambil contoh Jermanianya versi Hitler dan negara lain seperti Saudi arabia berdiri di atas sebuah Welstanschauung, sebuah falsafah dasar negara. Paham ideologi negara ini juga menjadi pokok konsentrasi tokoh kenegaraan besar seperti Lenin dan Sun Yat Sen. Begitu pun yang ada di Indonesia menurut beliau kita memiliki tokoh besar seperti Ki bagoes, Ki Hadjar, Lim Koen Hian hingga Tuan Yamin yang menjadi perumus ideologi bangsa. Kesatuan orang dan tempat ataupun kesatuan rakyat dan buminya dari ujung sumatera sampai Irian menjadi Nationale staat yang menyatukan semua golongan ke dalam “golongan kebangsaan”. Ide dasar kebangsaan ini pun ditarik penalarannya dari sejarah panjang imperium sebesar Sriwijaya hingga Majapahit. Falsafah dasar Bhineka Tunggal Ika sudah mengakar dalam perikehidupan putra-putri bangsa. Namun beliau menambahkan unsur perikemanusiaan sekaligus makna nasionalisme yaitu bukan menjadikan kebangsaan yang chauvinistik seperti ide “Indonesia Uber Alles” seehingga tidak menghargai kekeluargaan bangsa-bangsa di dunia atau ide internasionalisme yang beliau cetuskan. Hal ini berdampak pada kontribusi Indonesia untuk menjaga perdamaian dunia dengan mengutuk tindakan penindasan dan penjajahan di muka bumi.

Penalaran kebangsaan selanjutnya adalah pengalaman sosio-historis bangsa Indonesia yang memang mayoritas beragama islam termasuk beliau sendiri, namun jangan sampai menjadi tirani mayoritas karena bangsa ini bersatu atas dasar kebangsaan. Oleh karena itu setiap golongan memiliki utusan dan perwakilan untuk membicarakan kepentingan bersama atas dasar mufakat. Tujuan utama nya adalah tercapainya keadilan politik yang tercermin dari semangat anti-monarki dan keadilan sosial yang tercermin dari semangat anti-oligarki menuju kesejahteraan bersama. Oleh karena itu pengalaman pengamalan Pancasila sudah terlebih dahulu beliau tunjukkan dalam pernyataan politik berupa penalaran kebangsaan terkait ide kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau demokrasi serta kesejahteraan sosial. Kesemuanya itu dibungkus untuk menyusun Indonesia Merdeka dalam prinsip Ketuhanan. Masing-masing rakyat menjalankan agama secara berkeadaban yang saling menghormati satu sama lain. Perhatikan kutipan pidato yang merupakan momentum Pancasila dilahirkan berikut ini:

“ Saudara-saudara! Dasar-dasar negara telah saya usulkan lima bilangannya. Inilah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Apa lagi yang lima bilangannya?. Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan. Lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharna, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa – saya namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.”

Akhir pidato ditutup dengan sintesa semua pengalaman pengamalan sila-sila tersebut baik dari lima yang bisa diperas lagi menjadi tiga maupun satu, tetap saja berada pada semangat kebangsaan yaitu gotong royong. Konteks kesegeraan dan kesegaran reflektif implementasi penalaran kebangsaan menjadi motif pernyataan politik Bung Karno. Logika mendapatkan peran sentral untuk membedakan penalaran yang tepat dari yang tidak tepat. Logika yang berada dalam jalur epistemologi dipertemukan dengan etika yang berada dalam jalur aksiologi untuk memperbincangkan kasus pernyataan politik. Pernyataan politik terkait nasionalisme Indonesia bisa dilacak dari momentum kebangkitan nasional yang membuka ruang politik praktis bagi para intelektual bangsa sampai pada saat ini. Penalaran kebangsaan dari tokoh-tokoh bangsa menjadi bukti identitas politik yang menyokong eksistensi identitas nasional secara kolektif bagi seluruh putra-putri bangsa. Penalaran kebangsaan yang tepat kaidah logis serta etis menunjukkan komitmen kebangsaan para politisi untuk mengamini prinsip berkehidupan dan bernegara. Aspek normatif yang menjadi acuan berperilaku bermartabat kebangsaan harus dihayati dalam dimensi perfomatif di segala bidang. Pernyataan politik berupa pidato Bung Karno tepat pada 1 Juni 1945 pada sidang BPUPKI ini bisa menjadi panduan logis dan etis bagi bukan hanya para pemangku pemerintahan namun juga segenap putra-putri bangsa. Momentum pernyataan politik ini menjadi sebuah usulan dasar negara yang beliau beri nama “Pancasila”. Penalaran kebangsaan yang dilakukan beliau sarat muatan logis dan etis sehingga mampu menjadi landasan filosofis dan ideologis bagi Republik Indonesia.

Di satu sisi logika mengatur pola dan kaidah-kaidah berfikir dalam tujuannya untuk mencapai sebuah konklusi yang menunjukkan kondisi logis formal yang sedang dibangun, di sisi lain etika bermain pada tataran praksis lantaran terus menerus menguji konsekuensi dari sebuah pernyataan maupun tindakan yang menunjukkan kondisi logis-etis. Dalam ilmu logika, muatan penalaran kebangsaan dalam pidato Bung Karno dan silogisme yang dibangun beliau mampu mengatasi kekeliruan informal dengan struktur konklusi yang diturunkan mempunyai relevansi dengan premis sebagai landasan berfikir. Faktor penggunaan bahasa mampu memperlihatkan hubungan logis premis dan kesimpulan. Selain itu, dari berbagai data dan referensi yang beliau gunakan memiliki relevansi yang jelas dengan fakta. Simpati publik yang muncul sebagai reaksi pun tidak ditafsirkan secara subjektif dari prasangka tak berdasar, sehingga ide kebangsaan bukanlah kategori kekeliruan argumentum ad populum dalam pernyataan politik. Sintesa nilai-nilai pancasila justru mengentaskan kekeliruan berfikir secara komposisi yaitu mengeneralisasi kebenaran secara oligarkis untuk keseluruhan golongan. Beliau mampu merumuskan permasalahan dari tataran distributif secara aklamasi diterima pada tataran kolektif karena pengalaman pengamalan sila-sila itu terlebih dahulu dengan bingkai kebangsaan yaitu semangat gotong royong. Dalam aspek etis, Pancasila yang dirumuskan tersebut diharapkan memuat kapasitas imperatif sebagai instruksi moral pada substansi pernyataan politik yang sudah logis formal sesuai dengan perilaku konkret penuturnya.

Melalui pidato tersebut kita diajak kembali untuk merekonstruksi dan merefleksikan sebuah kontemplasi kebangsaan mendalam pada detik-detik Pancasila terlahir. Detik-detik Pancasila terlahir ini seharusnya bisa kita hayati secara penuh setiap harinya selama napas dikandung badan dan kaki masih berpijak pada ibu pertiwi. Melalui pengujian pada disiplin logika dan etika, pernyataan politik telah membuktikan bahwa siapa saja politisi yang melakukan kesesatan berfikir dan kesesatan bermoral yang terbaca di muka umum akan menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan tidak memahami atau tidak peduli dengan pikiran dan moral nya sendiri. Lalu bagaimana ia bisa berkata ingin mencerdaskan bangsa dan memanusiakan manusia jika ia tidak bisa mewujudkannya bagi dirinya sendiri. Perbedaan yang cukup signifikan antara pernyataan politik yang dilontarkan Bung Karno sebagai sebuah penghayatan penalaran kebangsaan menjadi manusia indonesia dengan pernyataan politik yang banal dan sering berseliweran di sekitar kita.

Agung Setiawan, S. Hum., M. Hum