Gustavo Gutierrez dan Teologi Pembebasan

Oleh: Petrus Lakonawa

Beberapa waktu lalu, tepatnya di hari Selasa, 22 Oktober 2024, Gustavo Gutierrez, yang dikenal sebagai ‘Bapak Teologi Pembebasan’ (father of liberation theology) meninggal dunia. Ia lahir di Monserat, sebuah kawasan miskin di Lima, Peru pada tanggal 8 Juni 1928. Ia belajar filsafat dan teologi di Universitas Katolik Louvain, Belgia, serta di Universitas Katolik Lyon, Prancis.

Di Prancis ia berkenalan dengan gerakan “la nouvelle theologie”, yakni suatu upaya berteologi yang dikembangkan oleh para teolog Katolik Prancis seperti Yves Congar, Henri de Lubac and Henri Bouillard untuk menghubungkan secara nyata iman dengan masalah-masalah kontemporer. Ia juga melanjutkan studinya di Universitas Katolik Gregoriana, Roma dan ditahbiskan sebagai Imam di Roma pada tanggal 6 Januari 1959.

Gutierrez kemudian kembali dan mengajar di Universitas Katolik Lima, Peru dan berkarya di antara kaum miskin di Rimac, Lima.

Dari pengalamannya belajar teologi dan hidup di tengah kamu miskin di Peru, ia menyadari bahwa teologi yang dipelajarinya di Eropa tidak cocok dengan situari konkret yang ada di masyarakat. Karena itu, ia mencoba mengkaji Injil dan Teologi dalam konteks riil masyarakatnya yaitu dalam konteks kehidupan kaum miskin dan tertindas di Amerika Latin.

Ia terisnpirasi oleh sejarah hidup seorang imam bernama Bartolome de Las Casas (1474-1566) yang pada masanya menjadi pembela gigih orang-orang Indian Amerika yang dijajah oleh Spanyol. Baginya, penginjilan sesungguhnya bukanlah upaya untuk mengkristenkan orang-orang Amerika Latin -sebagaimana dimengerti dan dijalankan pada masa itu- melainkan untuk mengadvokasi, membela, dan membebaskan mereka dari belenggu penjajahan, ketertindasan, dan kemiskinan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri keadilan dan bertentangan dengan ajaran Injil itu sendiri.

Gustavo Gutierrez kemudian menuliskan buah-buah pemikirannya ke dalam bukunya yang terkenal, berjudul “A Theology of Liberation” –aslinya diterbitkan tahun 1971 dalam bahasa Spanyol. Dalam buku tersebut ia menguraikan secara kontekstual, sistematis, dan komprehensif refleksi-refleksi teologis terkait keprihatinannya atas pengalaman hidup orang-orang miskin di Amerika Latin. Ia menolak kedekatan gereja dengan penguasa ekonomi-politik dan mendorong keberpihakan kepada orang-orang lemah yang tertindas (preferential option for the poor). Menurutnya, Gereja harus mengambil peran kenabian untuk mengumandangkan suara dan tindakan profetis demi memperjuangkan keadilan sosial dan pembebasan di masyarakat.

Teologi pembebasan yang dipeloporinya memiliki kekhasan dalam cara berteologi yakni upaya mengkonstruksi refleksi teologis yang bersifat transformatif berdasarkan pengalaman iman dan praksis pembebasan. Ia tidak dibangun dari teori dan ajaran iman abstrak yang mentradisi melainkan dari permenungan dari pengalaman nyata (pengalaman ketidakadilan) yang kemudian ditautkan dengan ajaran-ajaran kitab suci dan ajaran iman untuk melahirkan aksi konkret yang emansipatif. Dalam kerangka ini, pelaku teologi pembebasan adalah rakyat yang tertindas itu sendiri demikian pun usaha pembebasan harusnya dilakukan oleh orang-orang tertindas itu sendiri.

Kalau pun ada para teolog maka peran mereka adalah untuk menyimak dan mendengarkan serta berbekal pada keterampilan profesionalnya membantu memfasilitasi dan mendialektikakan permenungan-permenungan di akar rumput itu untuk membahasakan secara lebih komprehensif.

Pendekatan teologi pembebasan melahirkan perubahan yang radikal dalam berteologi. Secara metodologis, ia beralih dari penekanan pada teori (ajaran-ajaran yang  terwaris) menuju landasan praktik dan pengalaman hidup sebagai titik berangkatnya. Titik pangkal teologi pembebasan adalah tantangan zaman kini dan di sini yang berupa pengalaman negatif, ‘pengalaman pahit’ dan komitmen pembebasan (eksodus). Dari sanalah interpretasi atas Kitab Suci dan ajaran-ajaran gereja dimulai untuk mendapatkan pencerahan menuju aksi konkret pembebasan.

Dengan demikian teologi pembebasan  merupakan suatu refleksi kritis atas kehidupan nyata -di tengah penderitaan- dalam terang Kitab Suci dan keyakinan iman akan kehendak baik Allah bagi seluruh isi alam semesta. Teologi ini melihat segala bentuk ketidakadilan, penjajahan, penindasan, pembodohan, pemiskinan sebagai tidak sesuai dengan kehendak Ilahi dan tuntutan injil karena melanggar harkat dan martabat luhur manusia.

Teologi pembebasan bertugas untuk mengkaji ketidakadilan sosial dan menunjukkan hubungan antara iman dan perjuangan pembebasan. Lebih dari itu, teologi pembebasan juga merefleksikan secara kritis tradisi dan praksis pembebasan yang pernah dan yang sedang ada dan menunjukkan nilai positif dan negatifnya agar selalu relevan dan sesuai dengan misinya. Dengan kata lain, selain mengkaji tantangan zaman yang dialami masyarakat, teologi pembebasan pun berisi refleksi teologis kritis atas praksis pembebasan. Demikianlah cara bagi gereja untuk menemukan relevansinya di dunia ini yakni agar senantiasa sanggup menemukan misi pembebasannya.

Pembebasan yang dimaksudkan adalah pembebasan yang utuh, tidak hanya dari ketertindasan ekonomi, sosial, politis, religius, melainkan pembebasan yang menyeluruh seturut citra ilahi, termasuk pembebasan dari dosa pribadi dan struktural atau dosa-dosa sosial menuju suatu tatanan dunia baru sebagaimana sejatinya manusia, baik pribadi maupun bersama-sama dengan seisi alam semesta, dicintai dan diciptakan TUHAN seturut gambar dan rupa-Nya untuk masuk dalam persekutuan yang damai sejahtera (shalom) di bumi maupun di surga.

Rujukan:

Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation, First (Spanish) edition published in Lima, Peru, 1971; first English edition published by Orbis Books (Maryknoll, New York), 1973.

Petrus Lakonawa