Tantangan dan Strategi Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Oleh: Kevin Tan | PPTI 18 | 2702363986 | PPTI 18

Sebagai negara dengan kekayaan alam terbesar kedua di dunia, Indonesia memegang peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Namun, pembangunan ekonomi yang masif seringkali berbenturan dengan prinsip keberlanjutan lingkungan. Tantangan utama yang dihadapi adalah deforestasi, polusi laut, dan eksploitasi sumber daya alam berlebihan. Meski pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan, implementasi di lapangan masih belum optimal akibat lemahnya pengawasan dan tumpang tindih regulasi. Misalnya, tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan seringkali dimanfaatkan oleh oknum korup untuk menerbitkan izin usaha ilegal. Data KPK (2023) menunjukkan, 58% kasus korupsi sektor kehutanan melibatkan pejabat daerah yang mengabaikan prosedur lingkungan.

Deforestasi menjadi isu kritis dengan laju 1,2 juta hektar per tahun (KLHK, 2023), terutama di Sumatera dan Kalimantan. Alih fungsi hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batubara tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga meningkatkan emisi karbon hingga 60% dari total emisi nasional. Kebijakan penundaan pemberian izin baru hutan primer dan gambut yang digagas pemerintah belum sepenuhnya efektif karena minimnya sanksi bagi pelanggar. Sebuah studi lapangan di Riau (2023) menemukan, 70% perusahaan sawit yang beroperasi di kawasan penundaan pemberian izin hutan primer tidak dikenai denda meski terbukti melanggar. Di sisi lain, transparansi dalam pemberian izin usaha perlu ditingkatkan. Inisiatif seperti Sistem Informasi Pengelolaan Hutan (SIPH) oleh KLHK telah membantu mempublikasikan 80% izin kehutanan secara online, tetapi implementasinya belum merata di seluruh daerah.

Polusi laut juga menjadi ancaman serius bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Setiap tahun, 600.000 ton sampah plastik masuk ke laut, merusak 70% terumbu karang dan ekosistem pesisir (LIPI, 2023). Kebijakan larangan kantong plastik sekali pakai di 40 kota masih terkendala oleh kurangnya alternatif ramah lingkungan yang terjangkau. Contoh solusi inovatif dapat dilihat di Bali, di mana bank sampah digital berhasil mengubah 300 ton sampah plastik menjadi bahan konstruksi per tahun melalui kolaborasi dengan industri lokal. Selain itu, pencemaran limbah industri di Teluk Jakarta telah mengurangi populasi ikan hingga 40% dalam lima tahun terakhir, mengancam mata pencaharian nelayan tradisional.

Partisipasi masyarakat lokal menjadi kunci dalam memperkuat pembangunan berkelanjutan. Masyarakat adat, seperti suku Dayak di Kalimantan dan suku Mentawai di Sumatera, telah membuktikan kemampuan mereka mengurangi deforestasi hingga 30% melalui sistem patroli mandiri dan praktik agroforestri turun-temurun. Program pemberdayaan seperti ekowisata di Tana Toraja dan Lombok tidak hanya melestarikan alam, tetapi juga meningkatkan pendapatan masyarakat hingga 25% per tahun. Edukasi tentang pengelolaan sampah dan energi terbarukan juga perlu digencarkan. Kampanye “Bijak Berplastik” oleh KLHK berhasil mengurangi 1,2 juta ton sampah plastik di laut pada 2022, sementara instalasi panel surya di 1.000 desa terpencil telah mengalirkan listrik ramah lingkungan bagi 500.000 rumah tangga.

Teknologi berperan penting dalam mengatasi tantangan lingkungan. Pemanfaatan drone dan satelit resolusi tinggi oleh KLHK mampu memantau deforestasi secara real-time di 10 juta hektar hutan per tahun. Sistem blockchain dalam SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) meningkatkan akuntabilitas rantai pasok kayu legal, mengurangi praktik illegal logging hingga 35% sejak 2021. Aplikasi pelaporan polusi berbasis masyarakat seperti “LaporLimbah” telah digunakan oleh 50.000 warga untuk melaporkan 2.000 kasus pencemaran air dan udara dalam setahun. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan LSM dalam program Restorasi Gambut Berbasis Masyarakat (RGBM) juga berhasil memulihkan 500.000 hektar lahan gambut yang rusak, mencegah pelepasan 1,5 miliar ton karbon dioksida.

Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, Indonesia membutuhkan pendekatan holistik yang memadukan kebijakan tegas, partisipasi aktif masyarakat, dan pemanfaatan teknologi. Revisi UU Cipta Kerja untuk mempertegas sanksi lingkungan dan insentif hijau bagi perusahaan perlu segera dilakukan. Kerja sama antar-pemangku kepentingan, termasuk dukungan pendanaan internasional seperti program REDD+ Norwegia senilai USD 156 juta, akan mempercepat transformasi menuju ekonomi hijau. Dengan komitmen kuat, Indonesia dapat menjadi contoh global dalam mencapai target SDGs 2030, membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan bukanlah dua hal yang bertolak belakang.

Yustinus Suhardi Ruman