Kemiskinan dan Ketimpangan: Tantangan Global dalam Mewujudkan Kesejahteraan
Oleh: Fransiska Fu | 2702363891 | PPTI 18
Di era globalisasi, kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi membuat batas antarnegara semakin kabur. Budaya, ekonomi, dan kebijakan suatu negara kini dapat berdampak luas hingga ke seluruh dunia. Kondisi ini melahirkan konsep warga global, di mana setiap individu tidak hanya bertanggung jawab terhadap komunitasnya sendiri, tetapi juga terhadap isu-isu yang memengaruhi dunia secara keseluruhan.
Salah satu isu global yang memerlukan perhatian bersama adalah kemiskinan. Baru- baru ini, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan bahwa hampir 500 juta orang terancam jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem pada tahun 2030 jika tidak ada tindakan global yang mendesak. Laporan PBB juga menunjukkan bahwa pandemi COVID-19, konflik global, dan perubahan iklim telah membalikkan “kemajuan” menjadi “kemunduran” dalam pengentasan kemiskinan, dengan proyeksi sekitar 657-676 juta orang hidup dalam kondisi miskin pada tahun 2022.
Untuk mengatasi hal ini, komunitas internasional, yang diwakili oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menetapkan Sustainable Development Goals (SDGs), dengan SDG Nomor 1: Tanpa Kemiskinan sebagai prioritas utama.
Kemiskinan merupakan kondisi ketika seseorang atau kelompok tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, tempat tinggal, pendidikan, dan layanan kesehatan. Selain aspek ekonomi, kemiskinan juga mencerminkan keterbatasan akses terhadap kesempatan yang lebih baik, seperti pekerjaan layak dan partisipasi sosial. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan ekstrem sebagai kondisi di mana seseorang hidup dengan kurang dari 1,9 dolar AS per hari, sedangkan standar garis kemiskinan nasional Indonesia pada 2020 setara dengan 2,5 dolar AS per hari.
Indonesia telah mencatat kemajuan signifikan dalam menurunkan angka kemiskinan, dari sekitar 40 persen pada tahun 1970-an menjadi 9,22 persen pada 2019. Namun, kemiskinan tetap menjadi isu yang dinamis. Pada saat krisis ekonomi 1998, angka kemiskinan melonjak tajam akibat dampak ekonomi yang meluas. Hal serupa terjadi saat pandemi Covid-19, di mana angka kemiskinan kembali meningkat menjadi 10,19 persen pada September 2020. Lonjakan ini menunjukkan bahwa kemiskinan sangat rentan terhadap guncangan ekonomi global dan memerlukan upaya kolektif serta berkelanjutan, baik di tingkat nasional maupun global.
Penyebab kemiskinan sangat kompleks dan bervariasi antarwilayah. Faktor struktural seperti ketimpangan ekonomi, inflasi, dan rendahnya kualitas pendidikan menjadi pemicu utama yang memperburuk kondisi masyarakat miskin. Selain itu, faktor eksternal seperti krisis ekonomi dan bencana global, termasuk pandemi Covid-19, turut memperparah tingkat kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga melaporkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia pada September 2024 turun menjadi 8,57 persen, mencapai level terendah sejak 1960. Meskipun demikian, tingkat ketimpangan kekayaan, yang diukur melalui rasio gini (indikator ekonomi yang mengukur ketimpangan pendapatan antar masyarakat di sebuah negara), mengalami kenaikan menjadi 0,381. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun jumlah penduduk miskin menurun, kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin masih menjadi tantangan yang perlu diatasi. Contohnya, pada tahun 2012, meskipun angka kemiskinan di Indonesia menurun menjadi 11,6 persen, indeks keparahan kemiskinan justru meningkat, terutama di pedesaan, akibat inflasi yang lebih tinggi dibandingkan wilayah perkotaan. Ini menunjukkan bahwa kemiskinan tidak hanya tentang jumlah pendapatan, tetapi juga daya beli dan akses terhadap kebutuhan dasar.
Adapun salah satu faktor utama yang memperburuk kemiskinan adalah korupsi dan penyalahgunaan anggaran publik. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan sering kali diselewengkan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Akibatnya, masyarakat miskin semakin sulit mendapatkan akses terhadap fasilitas dasar yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka. Misalnya, dalam sektor pendidikan, banyak sekolah di daerah terpencil yang kekurangan fasilitas dan tenaga pengajar akibat alokasi dana yang tidak tepat. Di bidang kesehatan, layanan yang seharusnya gratis bagi masyarakat kurang mampu sering kali tidak berjalan efektif karena dana bantuan tersalurkan dengan tidak transparan. Jika praktik ini terus berlanjut, maka upaya pengentasan kemiskinan akan semakin sulit, dan ketimpangan sosial di masyarakat akan semakin melebar. Oleh karena itu, transparansi dan pengawasan ketat terhadap anggaran publik menjadi langkah krusial dalam memastikan bahwa dana negara benar-benar digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Kemiskinan memiliki dampak luas terhadap masyarakat Indonesia, mencakup berbagai aspek seperti pengangguran, kesehatan, pendidikan, dan kriminalitas. Keterbatasan akses pendidikan bagi masyarakat miskin menyebabkan kesulitan dalam bersaing di pasar kerja, sehingga peluang mendapatkan pekerjaan yang layak menjadi terbatas dan angka pengangguran meningkat. Selain itu, sektor kesehatan juga terdampak signifikan, di mana masyarakat miskin sering kali tidak memiliki akses memadai ke layanan kesehatan, menyebabkan tingginya angka penyakit, rendahnya harapan hidup, serta gangguan pertumbuhan seperti stunting akibat kekurangan gizi. Kemiskinan juga berkontribusi terhadap tingginya angka putus sekolah, karena banyak anak terpaksa meninggalkan pendidikan demi membantu perekonomian keluarga, yang pada akhirnya menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputus. Lebih jauh lagi, desakan ekonomi dapat mendorong individu melakukan tindakan kriminal demi bertahan hidup, yang tidak hanya merugikan pelaku tetapi juga mengancam stabilitas dan keamanan masyarakat secara keseluruhan.
Peran warga global dalam mengatasi kemiskinan sangatlah krusial. Sebagai bagian dari komunitas dunia, individu dapat berkontribusi melalui berbagai cara, seperti mendukung produk dan layanan dari usaha kecil, berdonasi kepada organisasi sosial, serta terlibat dalam gerakan advokasi yang mendorong kebijakan inklusif. Selain itu, kesadaran akan pentingnya konsumsi yang bertanggung jawab, investasi dalam pendidikan, dan pengurangan ketimpangan ekonomi dapat membantu menciptakan perubahan yang lebih besar. Kolaborasi antara individu, perusahaan, organisasi non-pemerintah (NGO), dan pemerintah menjadi kunci dalam menciptakan solusi berkelanjutan bagi pengentasan kemiskinan.
Dalam upaya mewujudkan SDG Nomor 1: Tanpa Kemiskinan, berbagai strategi telah diterapkan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Program perlindungan sosial, pemberdayaan ekonomi masyarakat, peningkatan akses pendidikan, serta pembangunan infrastruktur yang mendukung pertumbuhan ekonomi merupakan beberapa langkah konkret yang telah dilakukan. Namun, tantangan besar masih dihadapi, seperti ketimpangan distribusi sumber daya, ketergantungan pada bantuan jangka pendek, serta dampak perubahan iklim yang memperburuk kondisi masyarakat rentan.
Kesimpulannya, kemiskinan merupakan permasalahan kompleks yang tidak hanya disebabkan oleh faktor individu, tetapi juga oleh sistem sosial, ekonomi, dan kebijakan pemerintah. Ketimpangan sosial semakin terlihat dengan adanya perbedaan mencolok antara kehidupan masyarakat kelas atas di gedung-gedung pencakar langit dan masyarakat miskin yang bertahan di lingkungan kumuh. Korupsi dan penyalahgunaan anggaran publik juga menjadi faktor yang memperburuk kondisi ini. Oleh karena itu, dalam upaya mengatasi kemiskinan, diperlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan berkelanjutan. Kesadaran dan aksi nyata dari seluruh lapisan masyarakat sebagai warga global juga menjadi kunci dalam mewujudkan tujuan SDG Nomor 1: Tanpa Kemiskinan, sehingga tidak ada lagi kesenjangan ekstrem dalam kehidupan sosial dan ekonomi.