Dilema Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia: Harapan VS Realita

Oleh : Ivan Bryliant | 2702363922 |  PPTI 18

 Dalam artikel ini, kita akan mengulas dan menanggapi berbagai fakta terkini mengenai tantangan dan peluang yang dihadapi Indonesia dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia memiliki posisi geografis yang strategis namun juga rentan terhadap berbagai tantangan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Dari meningkatnya frekuensi bencana akibat perubahan iklim hingga ketimpangan ekonomi yang masih mencolok, berbagai faktor ini memainkan peran besar dalam menentukan arah pembangunan di masa depan.

Tantangan Pembangunan Berkelanjutan

 1. Perubahan Iklim dan Bencana Alam

Indonesia adalah salah satu negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa intensitas hujan ekstrem di Indonesia meningkat 21% dalam dua dekade terakhir. Selain itu, laporan dari Germanwatch Climate Risk Index 2023 mencatat Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara yang paling terdampak oleh perubahan iklim global, dengan kerugian ekonomi akibat bencana alam mencapai Rp108 triliun pada 2022.

Sementara itu, upaya pemerintah seperti moratorium pembukaan lahan gambut cukup menjanjikan. Namun, di lapangan, pelanggaran oleh perusahaan besar sering terjadi. Sebagai contoh, kebakaran hutan pada 2023 di Riau dan Kalimantan menghanguskan 2,3 juta hektare lahan, meskipun regulasi ketat telah diberlakukan. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum masih menjadi pekerjaan rumah besar.

2.     Ketimpangan Ekonomi dan Sosial

Ketimpangan ekonomi tetap menjadi salah satu tantangan utama. Berdasarkan laporan Bank Dunia (2023), sekitar 10,3% penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan internasional (US$1,90 per hari). Selain itu, Gini Ratio Indonesia sebesar 0,382 menunjukkan ketimpangan pendapatan yang signifikan antara kelompok terkaya dan termiskin.

Ketimpangan juga terlihat pada akses terhadap pendidikan. Data dari UNESCO menunjukkan bahwa 18% anak-anak di Indonesia bagian timur putus sekolah sebelum menyelesaikan pendidikan dasar, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 6% di Pulau Jawa. Disparitas ini menunjukkan perlunya intervensi kebijakan yang lebih adil, terutama dalam mendistribusikan anggaran pendidikan.

3.     Urbanisasi dan Masalah Perkotaan

Urbanisasi di Indonesia telah mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi urbanisasi yang tidak terkendali menciptakan masalah baru seperti kemacetan, polusi udara, dan permukiman kumuh. Data dari UN-Habitat (2023) menunjukkan bahwa 22% penduduk kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan tinggal di daerah yang tidak memiliki akses memadai terhadap sanitasi dan air bersih.

Megaproyek seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara juga menuai kritik. Beberapa studi menunjukkan bahwa proyek ini berpotensi merusak ekosistem Kalimantan, termasuk deforestasi hutan tropis yang sangat penting sebagai penyerap karbon dunia. Menurut laporan dari Greenpeace, sekitar 162 ribu hektare hutan telah dibuka sejak proyek ini diumumkan.

Peluang dan Inisiatif Strategis

 1. Pengembangan Energi Terbarukan

Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan energi terbarukan. Menurut laporan Kementerian ESDM (2023), kapasitas energi terbarukan Indonesia mencapai 13,6 GW, tetapi masih jauh dari target 23% energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025. Untuk mengejar target ini, pemerintah perlu mendorong investasi swasta dalam teknologi energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin.

2.     Pemberdayaan Masyarakat Lokal

Program-program berbasis masyarakat, seperti pengelolaan ekowisata di Raja Ampat dan Bali, menunjukkan bahwa pelibatan komunitas lokal dalam pembangunan dapat menciptakan dampak yang positif. Masyarakat di daerah ini tidak hanya memperoleh manfaat ekonomi, tetapi juga memiliki insentif untuk menjaga ekosistem lokal.

3.     Pemanfaatan Teknologi dan Digitalisasi

Teknologi memainkan peran kunci dalam mempercepat pencapaian SDGs. Startup seperti TaniHub dan eFishery telah membantu petani dan nelayan kecil meningkatkan efisiensi produksi dan akses pasar. Namun, adopsi teknologi masih terkendala di daerah pedesaan yang memiliki infrastruktur digital terbatas.

Pandangan, Tanggapan, dan Kritik

Meskipun banyak kebijakan telah diambil, beberapa langkah pemerintah dalam mengejar target SDGs menghadapi kritik. Misalnya, meskipun Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon sebesar 32% pada 2030, eksploitasi batu bara tetap menjadi salah satu pendorong utama ekonomi nasional. Indonesia adalah eksportir batu bara terbesar di dunia, dengan ekspor mencapai 407 juta ton pada 2023. Hal ini mencerminkan paradoks antara komitmen lingkungan dan realitas ekonomi.

Selain itu, alokasi anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan masih jauh dari ideal. Menurut laporan BPS (2024), anggaran pendidikan hanya mencapai 3,4% dari PDB, lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia (4,5%). Kondisi ini menghambat pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas.

Kritik lainnya adalah kurangnya partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan besar seperti pembangunan IKN Nusantara. Banyak komunitas adat dan organisasi masyarakat sipil yang merasa bahwa hak-hak mereka diabaikan dalam proses ini. Sebagai contoh, Forum Masyarakat Adat Kalimantan (2023) melaporkan bahwa sekitar 80% dari komunitas adat di sekitar wilayah pembangunan IKN tidak pernah dilibatkan dalam konsultasi formal.

Kesimpulan

Pencapaian SDGs di Indonesia adalah tantangan yang memerlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Dengan mengatasi tantangan seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan urbanisasi yang tidak terkendali, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi model pembangunan berkelanjutan di Asia Tenggara. Namun, pendekatan yang lebih inklusif, terintegrasi, dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk memastikan bahwa tidak ada pihak yang tertinggal dalam perjalanan ini.

Yustinus Suhardi Ruman