Dari Fast Fashion ke Slow Fashion: Langkah Menuju Gaya yang Berkelanjutan

Oleh: Cecilia Supardi | 2702364042 | PPTI 18

Pernahkah Anda membeli pakaian hanya karena tergoda oleh iklan di media sosial? Atau mungkin ada baju yang baru beberapa bulan dibeli, tetapi kini sudah rusak dan tak bisa dipakai lagi? Tren mode yang berubah dengan cepat seringkali membuat kita menumpuk pakaian yang akhirnya hanya berdebu di lemari. Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan konsumsi, melainkan cerminan dari industri mode yang semakin cepat dan masif. Fast fashion telah mengubah cara kita membeli, mengenakan, dan membuang pakaian menjadi sebuah siklus yang begitu singkat dan destruktif.

Fast fashion telah menjadi bagian dari gaya hidup modern, dengan tren baru yang terus bermunculan dalam hitungan bulan. Harga yang terjangkau dan desain yang selalu segar mendorong konsumsi impulsif. Namun, di balik kemudahannya, fast fashion berdampak serius pada lingkungan dan kesejahteraan pekerja. Produksi massal ini meningkatkan limbah tekstil serta memperburuk eksploitasi tenaga kerja, sementara kesadaran masyarakat akan dampaknya masih rendah.

Produksi pakaian dalam industri fast fashion menggunakan bahan sintetis seperti poliester, yang tidak hanya membutuhkan banyak energi untuk diproduksi tetapi juga sulit terurai di lingkungan. Setiap kali dicuci, serat-serat mikroplastik dari pakaian ini terlepas dan masuk ke sistem perairan, mencemari sungai dan lautan serta mengancam kehidupan biota laut. Tidak hanya itu, proses pewarnaan tekstil yang dilakukan oleh pabrik-pabrik besar sering kali membuang limbah kimia langsung ke perairan tanpa pengolahan yang memadai, menyebabkan pencemaran serius yang berdampak pada kesehatan manusia dan ekosistem. Menurut laporan dari Waste4Change, industri fashion menyumbang sekitar 20% dari total limbah air industri global dan melepaskan lebih dari setengah juta ton mikroplastik ke lautan setiap tahunnya.

Dampak negatif fast fashion juga berkaitan erat dengan SDG 12: Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab. Model bisnis fast fashion yang berfokus pada produksi massal dan konsumsi berlebihan bertentangan dengan prinsip keberlanjutan. Setiap tahunnya, jutaan ton pakaian berakhir di tempat pembuangan akhir, dengan sebagian besar di antaranya tidak dapat terurai dalam waktu singkat. Tren mode yang terus berubah dengan cepat mendorong pola konsumsi yang boros, di mana pakaian hanya digunakan beberapa kali sebelum akhirnya dibuang. Selain itu, harga murah kadangkala mengorbankan kualitas, membuat pakaian cepat rusak dan berakhir di tempat pembuangan dalam waktu singkat. Tanpa perubahan signifikan dalam cara produksi dan konsumsi pakaian, industri ini akan terus memberikan dampak lingkungan yang semakin besar dan merugikan.

Di sisi lain, dampak fast fashion tidak hanya terbatas pada lingkungan, tetapi juga menyentuh aspek sosial. Harga murah yang ditawarkan oleh fast fashion tidak jarang ditopang oleh kondisi kerja yang tidak manusiawi. Banyak pekerja di negara berkembang yang dipaksa bekerja dalam kondisi yang berbahaya, upah yang jauh di bawah standar, dan jam kerja yang melelahkan. Kasus eksploitasi tenaga kerja, termasuk pekerja anak, masih marak terjadi di berbagai pabrik yang memasok produk ke merek-merek besar dunia. Fenomena ini menjadi salah satu hambatan dalam mencapai kesejahteraan pekerja, sebagaimana diungkapkan dalam SDG 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi. Tanpa regulasi ketat dan kesadaran konsumen yang lebih tinggi, eksploitasi ini akan terus berlangsung.

Meski demikian, harapan untuk perubahan masih ada. Merek-merek mode mulai beralih ke konsep sustainable fashion dengan menggunakan bahan ramah lingkungan, meningkatkan transparansi dalam rantai pasok, dan mendorong ekonomi sirkular melalui program daur ulang pakaian. Di Indonesia sendiri, beberapa merek lokal telah mengambil langkah nyata dalam menerapkan konsep sustainable fashion. Menilik dari merek Sejauh Mata Memandang, yang berfokus pada penggunaan material ramah lingkungan dan proses produksi yang beretika. Juga SukkhaCitta berupaya memberdayakan pengrajin lokal dengan praktik fair trade. Selain itu, merek Pijakbumi telah menghadirkan alas kaki berkelanjutan yang menggunakan material daur ulang dan proses produksi minim limbah.

Tidak dapat dipungkiri, konsumen juga memiliki peran besar dalam mengurangi dampak fast fashion. Maka dari itu, penting bagi kita untuk memilih pakaian berkualitas yang lebih tahan lama, membeli produk dari merek yang berkomitmen terhadap keberlanjutan, atau bahkan mendukung tren thrifting dan upcycling untuk memperpanjang umur pakaian. Dengan langkah-langkah ini, kita dapat bergerak menuju industri mode yang lebih bertanggung jawab, di mana keindahan dan gaya tidak lagi datang dengan harga yang merusak lingkungan dan kehidupan manusia.

Yustinus Suhardi Ruman