Apakah Green Smart City Bisa Mengatasi Macet dan Polusi?

Oleh : Sean Anastasius Kurniawan | 2702364383 | PPTI 18

Pernahkah Anda membayangkan tinggal di kota yang bebas macet, udaranya bersih, dan semua fasilitas terjangkau? Konsep Green Smart City mencoba mewujudkan hal itu dengan memadukan teknologi cerdas dan prinsip keberlanjutan lingkungan untuk membentuk kota yang lebih efisien, eco-friendly, dan nyaman bagi warganya. Konsep kota tersebut memanfaatkan sistem transportasi hijau, reusable energy, tata pengelolaan berbasis data dan AI untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

Di Indonesia, ide Green Smart City mulai diaplikasikan di beberapa kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Medan. Salah satunya adalah Ibu kota Jakarta, dimana kota tersebut sudah mengadopsi transportasi berbasis listrik yang terbuka untuk umum serta menerapkan kebijakan penghijauan untuk mengatasi polusi udara dan kemacetan (Kementerian Perhubungan, 2023).

Green Smart City dan Masalah Kemacetan

Kemacetan merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi di dalam kota-kota besar Indonesia. Pada tahun 2023, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh kemacetan di daerah Jabodetabek mencapai Rp. 100 triliun per tahun, menurut Kementerian Perhubungan. Menurut data dari TomTom Traffic Index 2024, Bandung menempati peringkat 12 kota termacet di dunia dengan tingkat kemacetan 48% pada jam sibuk, Medan di posisi 15 dengan tingkat kemacetan 40%, Surabaya di peringkat 70 dengan tingkat kemacetan 31%, dan Jakarta menempati peringkat ke-90 dengan tingkat kemacetan 43% pada jam sibuk (TomTom, 2023). Dari data tersebut bisa disimpulkan bahwa Indonesia termasuk ke dalam negara yang memiliki tingkat kemacetan yang tinggi.

Green Smart City menawarkan solusi berbasis teknologi hijau untuk mengatasi kasus itu. Salah satunya adalah pengembangan transportasi publik yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Jakarta telah mengoperasikan lebih dari 200 bus listrik TransJakarta untuk mengurangi emisi karbon serta meningkatkan efisiensi transportasi umum (TransJakarta, 2024). Sementara itu, kota seperti Medan dan Semarang mulai mengadopsi sistem Bus Rapid Transit (BRT) dengan jalur khusus yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi (ITDP Indonesia, 2023). Berdasarkan data ITDP, penggunaan transportasi publik yang optimal dapat mengurangi emisi CO2 hingga 30% dibandingkan dengan kendaraan pribadi.

Bukan hanya transportasi publik yang bisa menjadi solusi. AI juga mulai berperan dalam mengatur lalu lintas agar lebih efisien. Sistem AI mampu meningkatkan pengaturan lampu lalu lintas dan memantau pola kemacetan, sehingga dapat membantu mengurangi kepadatan kendaraan pada jam sibuk (McKinsey, 2023). Studi McKinsey juga menunjukkan bahwa penerapan sistem AI dalam manajemen lalu lintas mampu mengurangi waktu perjalanan hingga 20%, memberikan dampak signifikan terhadap efisiensi mobilitas perkotaan.

Konsep “15-Minute City” menjadi salah satu pendekatan inovatif dalam perencanaan kota yang lebih efisien. Sistem ini membantu warga untuk mengakses berbagai fasilitas publik dalam waktu tempuh 15 menit saja, sehingga dapat mengurangi penggunaan kendaraan bermotor secara signifikan (Moreno et al., 2021).Contoh implementasi konsep ini berada di Paris. Dimana kota tersebut telah berhasil menurunkan volume lalu lintas kendaraan hingga 24% dalam dua tahun kebelakang, menunjukkan efektivitasnya dalam mengatasi kemacetan dan meningkatkan kualitas hidup warga kota (World resource Institute., 2023).

Green Smart City dan Polusi Udara

Polusi udara di kota-kota besar Indonesia, terutama Jakarta, telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Menurut IQAir 2023, Jakarta memiliki indeks kualitas udara yang buruk dengan rata-rata PM2.5 di atas 50 µg/m³, jauh di atas batas aman WHO yang hanya 5 µg/m³ (IQAir, 2023). Berdasarkan laporan Greenpeace, sektor transportasi menyumbang sekitar 70% dari total emisi karbon di Jakarta (Greenpeace, 2023).

Untuk mengatasi polusi udara, Green Smart City menerapkan berbagai langkah strategis. Salah satunya adalah elektrifikasi transportasi guna mengurangi emisi gas buang kendaraan bermotor. Pemerintah DKI Jakarta menargetkan 100% elektrifikasi transportasi publik pada tahun 2030 (Pemprov DKI Jakarta, 2023), sementara Kota Semarang berencana membangun jalur khusus bagi transportasi listrik guna mempercepat transisi ke energi hijau. Menurut laporan International Energy Agency (IEA), kendaraan listrik dapat mengurangi emisi karbon hingga 50% dibandingkan kendaraan berbahan bakar fosil (IEA, 2023).

Selain transportasi, pembangunan bangunan ramah lingkungan juga menjadi bagian penting dalam mengurangi polusi. Penerapan standar bangunan hijau seperti Leadership in Energy and Environmental Design (LEED) terbukti mampu menekan konsumsi energi dan emisi karbon (USGBC, 2023). Data dari Kementerian PUPR menunjukkan bahwa bangunan hijau di Indonesia dapat menghemat energi hingga 30% dan air hingga 50% dibandingkan bangunan konvensional (Kementerian PUPR, 2023).

Upaya lain yang dilakukan adalah penghijauan kota dan pengelolaan emisi. Program penanaman pohon serta pengembangan ruang terbuka hijau di Jakarta dan Bandung bertujuan untuk meningkatkan kualitas udara (DLH Jakarta, 2023). Menurut penelitian NASA, penanaman pohon dapat menurunkan suhu kota hingga 2°C serta menyerap polutan udara seperti CO2 dan NO2 secara efektif (NASA, 2024). Selain itu, penguatan regulasi terhadap industri dan transportasi guna menekan emisi gas buang menjadi langkah penting dalam mengurangi polusi secara signifikan.

Smart Green City memiliki potensi besar dalam mengatasi kemacetan dan polusi udara melalui pemanfaatan teknologi hijau dan infrastruktur yang berkelanjutan. Data menunjukkan bahwa penerapan transportasi publik berbasis listrik, pengelolaan lalu lintas dengan AI, serta konsep kota ramah lingkungan dapat mengurangi polusi udara dan kemacetan secara signifikan. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada implementasi kebijakan yang tepat, kesiapan infrastruktur, serta partisipasi aktif masyarakat. Kota-kota di Indonesia telah memulai langkah menuju Smart Green City, tetapi masih dibutuhkan komitmen jangka panjang dalam pendanaan, regulasi, dan inovasi teknologi untuk menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih sehat dan nyaman bagi masyarakat.

Yustinus Suhardi Ruman