4,7 Juta Mimpi Tertunda: Mengapa Pendidikan di Indonesia Masih Tertinggal?

Oleh:  Maritza Eka Rahmadhani | 2702363494 | PPTI 17

Pendidikan merupakan hak setiap warga negara Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pemerintah berkewajiban untuk menjamin akses pendidikan bagi seluruh warganya. Namun, kenyataannya, masih banyak anak yang putus sekolah di Indonesia. Menurut UNICEF, sekitar 4,7 juta anak di bawah usia 18 tahun tidak melanjutkan pendidikan, termasuk SD, SMP, dan SMA. Angka-angka ini cukup membuktikan bahwa meskipun jumlah sekolah terus bertambah, hal ini tidak serta merta mengurangi angka putus sekolah. Pada tahun ajaran 2023/2024, angka putus sekolah di tingkat SD mencapai 0,19%, sementara di tingkat SMP mencapai 0,18%. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk meningkatkan jumlah sekolah, akses terhadap pendidikan yang berkualitas masih menjadi tantangan serius dalam sistem pendidikan kita.

Dapat kita lihat bahwa tantangan pendidikan di Indonesia masih cukup signifikan, terutama di daerah terpencil yang tergolong kurang mampu, seperti Nusa Tenggara Timur dan beberapa daerah di Papua. Di NTT, banyak anak terpaksa berhenti sekolah karena orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Di Papua, transportasi yang buruk dan jarak yang jauh dari sekolah membuat anak-anak harus berjalan kaki berjam-jam setiap hari, sehingga sering kali mereka tidak dapat mengikuti kelas reguler. Sementara di daerah lain, kurangnya fasilitas pendidikan seperti kurangnya buku dan alat pembelajaran menghambat proses belajar mengajar yang dimana sangat berbeda dari segi fasilitas dengan kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan sebagainya. Selain itu, karena kondisi yang sulit, banyak guru enggan mengajar di daerah tersebut, sehingga seringkali siswa tidak mendapatkan pendidikan yang layak.

Rendahnya pendidikan di negara berpendapatan rendah, seperti Indonesia, tidak hanya merugikan individu, tetapi juga merenggut masa depan bangsa dan memperburuk kondisi kemiskinan yang ada. Ketika anak-anak gagal mendapatkan pendidikan yang layak, mereka kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan potensi mereka dan meningkatkan standar hidup mereka. Hal ini akan menimbulkan generasi yang kurang terampil dalam hal keterampilan dasar seperti membaca, menulis, berhitung, serta kemampuan bahasa asing. Selain itu, mereka juga kurang terampil dalam penggunaan teknologi dasar seperti komputer, hingga keterampilan kompleks seperti pemrograman dan analisis data, yang dimana itu semua sangat penting untuk bersaing secara global dalam mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Dengan demikian akan muncul pertanyaan tentang bagaimana negara dapat menumbuhkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, yang merupakan prasyarat untuk pembangunan ekonomi dan sosial. Salah satu di antara banyak lainnya adalah masalah keuangan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa lebih dari 70% alasan utama anak yang putus sekolah di Indonesia berasal dari faktor ekonomi yang sulit. Keluarga miskin memprioritaskan kebutuhan sehari-hari mereka daripada pendidikan, yang dianggap sebagai beban. Selain faktor ekonomi, ada juga masalah aksesibilitas yang menyebabkan biaya transportasi menjadi mahal, serta banyak faktor yang membahayakan nyawa, yang dimana menjadi kendala bagi anak-anak untuk pergi ke sekolah.

Meskipun tantangannya besar, terdapat solusi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan pendidikan di desa-desa yakni, penting untuk membangun infrastruktur yang lebih baik untuk meningkatkan aksesibilitas di desa-desa. Pemerintah perlu berinvestasi pada jalan dan transportasi yang memadai sehingga anak-anak bisa dengan mudah untuk pergi ke sekolah. Kedua, terdapat perbaikan fasilitas sekolah, termasuk penyediaan buku dan teknologi pendukung seperti proyektor, laboratorium komputer,  perangkat tablet, dan sebagainya yang akan membantu proses belajar mengajar dengan meningkatkan interaksi dan keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Ketiga, rencana pengiriman guru berkualitas ke desa-desa terpencil dan insentif bagi mereka yang bersedia mengajar di daerah tersebut juga perlu dipertimbangkan. Terakhir, memberikan beasiswa dan bantuan keuangan kepada siswa dari keluarga miskin, seperti beasiswa penuh yang mencakup biaya sekolah, seragam, dan buku, serta program bantuan tunai bulanan untuk kebutuhan sehari-hari yang membantu mereka tetap bersekolah tanpa harus mengkhawatirkan biaya.

Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas, namun kenyataannya banyak anak di desa terhambat oleh kemiskinan. Untuk mengatasi masalah ini, tantangan ini menjadi semakin mendesak dalam upaya kita untuk memastikan masa depan yang lebih baik bagi generasi muda. Pemerintah harus bisa meningkatkan akses terhadap pendidikan dan menyediakan program beasiswa yang lebih luas, baik melalui partisipasi dalam program-program lokal maupun memberikan dukungan moral dan finansial. Selain itu, warga perlu berperan aktif dalam mendukung pendidikan anak-anak di lingkungan sekitar. Melalui inisiatif-inisiatif ini, diharapkan anak-anak di desa-desa terpencil mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan dapat memutus siklus kemiskinan, sehingga membantu negara untuk menciptakan generasi yang lebih baik dan lebih siap menghadapi tantangan masa depan.

Yustinus Suhardi Ruman