Perlindungan Hukum bagi Korban KDRT: Antara Regulasi dan Realita

Oleh: Natasya Fernanda Josy | PPTI 19 | 2702365234

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih menjadi masalah serius di Indonesia. Meskipun Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 Komnas Perempuan mencatat penurunan angka kekerasan terhadap perempuan sebesar 12% (dari 345.031 kasus pada 2022 menjadi 289.111 kasus pada 2023), kita tidak boleh terlena. Fenomena gunung es mengindikasikan bahwa masih banyak kasus yang tidak dilaporkan, terutama dalam konteks KDRT. Korban seringkali enggan melapor karena ketergantungan ekonomi, budaya patriarki yang kental, dan ketakutan akan stigma sosial. Di balik penurunan angka ini, pengalaman korban dalam mengakses perlindungan dan pemulihan masih jauh dari harapan.

Regulasi utama yang melindungi korban KDRT adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). UU ini mengatur mekanisme Perintah Perlindungan, yang bertujuan melindungi korban dari kekerasan dan ancaman lebih lanjut. Namun, implementasinya masih menghadapi banyak tantangan. Minimnya kebijakan turunan yang menjelaskan prosedur permohonan perlindungan serta masih kuatnya budaya patriarki yang menganggap KDRT sebagai urusan domestik membuat korban seringkali tidak mendapatkan perlindungan yang cepat dan efektif. Selain itu, kapasitas aparat penegak hukum juga menjadi faktor krusial. Tidak semua korban mendapatkan respons yang memadai dari kepolisian, bahkan dalam beberapa kasus, korban justru dipersulit dalam proses hukum.

Akses terhadap layanan hukum juga menjadi tantangan, terutama bagi korban dari kelompok ekonomi lemah yang kesulitan mendapatkan pendampingan hukum gratis.

Data CATAHU 2023 juga mengungkapkan karakteristik korban dan pelaku yang masih menunjukkan tren memprihatinkan. Korban cenderung lebih muda dan memiliki tingkat pendidikan lebih rendah dibandingkan pelaku. Selain itu, selama tiga tahun terakhir, jumlah pelaku yang seharusnya menjadi panutan—seperti tokoh masyarakat, pemegang jabatan struktural, atau tokoh keagamaan—meningkat 9%. Hal ini menegaskan bahwa akar masalah kekerasan terhadap perempuan (KtP) bersumber dari ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Kekuasaan politik, pengetahuan, dan status sosial pelaku seringkali memperburuk situasi, membuat korban semakin sulit untuk bersuara.

Di sisi lain, dampak KDRT tidak hanya dirasakan oleh korban secara langsung tetapi juga oleh anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan. Studi menunjukkan bahwa anak yang menyaksikan KDRT berisiko lebih tinggi mengalami trauma, gangguan psikologis, dan bahkan mengulangi siklus kekerasan dalam hubungan mereka di masa depan. Selain dampak psikologis, korban juga mengalami dampak ekonomi dan sosial yang signifikan. Kesulitan mendapatkan pekerjaan, kehilangan tempat tinggal, hingga isolasi sosial adalah beberapa konsekuensi yang sering dialami korban yang berusaha keluar dari hubungan abusif.

Belajar dari praktik di Amerika Serikat, mekanisme Domestic Violence Protective Order (DVPO) dapat menjadi inspirasi. DVPO merupakan perintah perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk melindungi korban KDRT dari pelaku. Keunggulan utama dari DVPO adalah proses yang cepat dan efektif. Permohonan dapat diajukan dan disidangkan dalam waktu singkat, bahkan tanpa kehadiran pelaku jika korban berada dalam bahaya. Selain itu, DVPO mencakup berbagai bentuk perlindungan, seperti larangan bagi pelaku untuk mendekati korban, menghubungi korban, atau bahkan meninggalkan rumah jika masih tinggal bersama korban. Pelanggaran terhadap DVPO dianggap sebagai tindak pidana serius dan dapat dikenakan sanksi berat, termasuk penangkapan langsung. Dengan penerapan yang tegas, DVPO mampu memberikan perlindungan nyata bagi korban dan mencegah terulangnya kekerasan.

Untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi korban KDRT di Indonesia, beberapa langkah perlu diambil. Pertama, pemerintah harus segera menyusun peraturan pelaksana yang jelas dan rinci untuk mengisi kekosongan hukum dalam UU PKDRT, termasuk prosedur teknis dalam pemberian perlindungan bagi korban. Kedua, proses permohonan perlindungan harus dipermudah agar korban dapat segera mendapatkan bantuan tanpa birokrasi yang berbelit-belit. Ketiga, perlu ada edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya melaporkan kasus KDRT dan hak-hak korban, sehingga stigma terhadap korban dapat berkurang. Keempat, pendampingan holistik—baik psikologis, hukum, maupun ekonomi—harus diberikan kepada korban untuk memastikan mereka dapat bangkit dari trauma dan membangun kembali kehidupan yang lebih aman.

Selain itu, peran lembaga perlindungan dan masyarakat sipil tidak boleh diabaikan. Komnas Perempuan, LBH APIK, dan P2TP2A telah banyak berkontribusi dalam memberikan advokasi dan pendampingan kepada korban. Namun, mereka masih menghadapi keterbatasan sumber daya dan cakupan layanan yang belum merata di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, dukungan dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat diperlukan agar perlindungan terhadap korban semakin efektif.

Penurunan angka kekerasan terhadap perempuan patut diapresiasi, namun kita tidak boleh berpuas diri. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk memastikan bahwa setiap korban KDRT mendapatkan perlindungan dan keadilan yang mereka butuhkan. Hanya dengan kerja sama semua pihak, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan adil bagi perempuan.

Referensi

  • Komnas Perempuan. (n.d.). Komnas Perempuan. Retrieved February 13, 2025, from https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/menemuke nali-kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt
  • Ramzy, H. (2024, September 06). KDRT dan Perlindungan Hukum bagi Korban Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “KDRT dan Perlindungan Hukum bagi Korban”, Klik untuk baca: https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2024/09/06/060000280/kdrt-dan-perlind ungan-hukum-bagi-korba. KOMPAS.com. https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2024/09/06/060000280/kdrt-dan-perlindungan-hukum-bagi-korban?utm_source=Various&utm_medium=Referral&utm_campaig n=Top_Desktop
  • Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Peluncuran Catatan Tahunan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2023. (2024, March 7). Komnas Perempuan. Retrieved February 13, 2025, from https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-peluncuran-catatan-tahunan-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-tahun-2023
Natasya Fernanda Josy