Over Populasi dan Kemiskinan di Jakarta: Kepuasan atau Kebodohan Semata?

Oleh: Arjuna Andio |2702364452 | PPTI 19 

Dua kata terang yang sangat dianggap remeh oleh masyarakat di Jakarta, “OVER POPULASI” dan “KEMISKINAN”. Kurangnya tingkat pendidikan & sosialisasi yang jelas mengenai hal ini kepada masyarakat, terutama yang berada di golongan bawah menyebabkan banyaknya SDM yang terbuang sia-sia hanya karena nafsu semata.

Berbicara fakta, banyak masyarakat beranak pinak tanpa memikirkan kesejahteraan hidup mereka kedepannya, mengandalkan hidup kepada pemerintah (bantuan ini, bantuan itu, a, b, c) sehingga terjebak dalam kemiskinan struktural yang akan memberi dampak pada kualitas SDM yang sangat-sangat tidak bisa bersaing di dunia zaman modern ini.

I.         Latar Belakang

Fenomena yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh kepadatan penduduk yang tinggi dan kondisi ekonomi yang rendah, yang membuat banyak keluarga terpaksa tinggal bersama di rumah-rumah yang sempit. Keterbatasan ruang hidup ini mendorong pola kehidupan yang kurang ideal, seperti harus tidur bergantian, karena tidak cukup tempat tidur untuk semua anggota keluarga. Hal ini terjadi di banyak daerah di Jakarta, di mana satu rumah sering kali dihuni oleh lebih dari satu kepala keluarga (KK) dengan lebih dari tiga anggota keluarga dalam setiap rumah, memaksa mereka untuk berbagi ruang yang sangat terbatas.

Keadaan ini tidak hanya mempengaruhi kenyamanan fisik, tetapi juga dapat berdampak pada kualitas hidup masyarakat, seperti masalah kesehatan akibat kurangnya privasi dan pola tidur yang tidak teratur. Selain itu, tinggal dalam kondisi yang penuh sesak ini bisa memperburuk masalah sosial dan psikologis bagi individu, karena terbatasnya ruang pribadi yang dapat dimiliki setiap anggota keluarga.

Salah satu penyebab utama dari fenomena ini adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya program Keluarga Berencana (KB). Program KB bertujuan untuk mengatur jumlah anggota keluarga, yang pada gilirannya dapat membantu mengurangi kepadatan penduduk di daerah perkotaan seperti Jakarta. Sayangnya, banyak orang yang belum sepenuhnya menyadari manfaat dari program ini atau mungkin terhambat oleh akses yang terbatas terhadap informasi dan layanan yang berkaitan dengan KB.

Peningkatan kesadaran akan pentingnya pengendalian jumlah penduduk sangat diperlukan agar fenomena overpopulasi ini dapat diatasi. Selain itu, pemerintah juga perlu lebih gencar dalam memberikan edukasi tentang keluarga berencana, serta memastikan akses yang lebih mudah bagi masyarakat untuk mengikuti program-program yang ada. Tanpa upaya ini, masalah kepadatan penduduk yang mengarah pada fenomena seperti tidur bergantian dalam rumah sempit akan terus berlanjut dan memperburuk kualitas hidup warga Jakarta.

II.           Pembahasan

Kondisi permukiman padat di Jakarta, terutama di kawasan yang mengalami urbanisasi cepat seperti Tanah Tinggi, memaksa sebagian besar warganya untuk hidup dalam keadaan yang sangat terbatas, termasuk tidur “shift-shifan” karena kurangnya ruang di rumah mereka. Fenomena ini bukan hanya terjadi dalam satu atau dua rumah, tetapi merata di banyak kawasan dengan kepadatan penduduk yang tinggi.

Di RW 012 Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta, yang dipimpin oleh Imron Buchari sejak 2013, terdapat sekitar 1.400 kepala keluarga yang menghuni 11 RT, dengan total lebih dari 2.500 jiwa. Kondisi kehidupan di sini sangat mencerminkan realitas keras yang dihadapi oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Mayoritas warga di kawasan ini bekerja sebagai pedagang kaki lima, pemilik warung kecil, atau bahkan sebagai demonstran bayaran, yang memperlihatkan betapa terbatasnya peluang ekonomi yang tersedia bagi mereka.

Salah satu contoh nyata dari kondisi ini adalah kisah Nenek Hasna (63), yang tinggal bersama 13 anggota keluarga, termasuk anak, cucu, dan cicitnya, dalam sebuah rumah yang hanya berukuran 2×3 meter. Rumah yang begitu sempit membuat mereka harus berbagi ruang tidur, bahkan sampai tidur bergantian. Anak-anak dan orang tua biasanya tidur lebih awal, sementara anggota keluarga yang lebih muda bekerja sebagai pengamen pada malam hari dan tidur di pagi hari. Keterbatasan ruang tidur tersebut terkadang membuat mereka harus tidur sambil duduk karena tidak ada tempat yang cukup luas untuk berbaring dengan nyaman.

Bagi Nenek Hasna, kondisi ini sangat melelahkan. Ia harus membagi waktunya antara tidur dan bekerja. Mulai tidur pada sore hari, Nenek Hasna bangun tengah malam untuk memberi giliran tidur kepada anak-anaknya. Setelah itu, ia kembali bekerja dengan menyapu jalanan dan mengumpulkan botol bekas, kemudian melanjutkan tiduran hingga pagi sebelum kembali beraktivitas. Rutinitas yang sangat berat ini menandakan betapa terbatasnya pilihan yang dimiliki oleh keluarga-keluarga di kawasan permukiman tersebut.

Situasi serupa juga diungkapkan oleh Situ Juwariyah (59), seorang warga yang telah tinggal di Tanah Tinggi selama 20 tahun. Ia sangat prihatin dengan kondisi Nenek Hasna yang sering merasa kelelahan dan tidak memiliki banyak pilihan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan tersebut. Dengan keadaan ekonomi yang serba sulit, anak-anak Nenek Hasna tidak mampu menyewa tempat tinggal lain, sehingga mereka terpaksa tinggal bersama di rumah yang sudah sangat sempit. Terkadang, Nenek Hasna bahkan berpikir untuk menjual rumahnya, meskipun itu bukanlah solusi yang mudah, karena rumah tersebut adalah satu-satunya tempat tinggal yang mereka miliki.

Kondisi ini memperlihatkan masalah serius terkait dengan perumahan dan ketimpangan sosial di Jakarta. Rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan kenyamanan bagi keluarga, justru berubah menjadi tempat yang penuh sesak dan penuh tantangan. Masyarakat di kawasan ini sangat membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah, tidak hanya dalam hal penyediaan rumah yang lebih layak huni, tetapi juga dalam penciptaan peluang ekonomi yang dapat membantu mereka keluar dari kemiskinan. Tanpa solusi yang tepat, kondisi seperti ini akan terus berlanjut dan memperburuk kualitas hidup masyarakat. Selain itu, penting bagi pemerintah untuk mendorong kesadaran akan pentingnya pengelolaan jumlah penduduk melalui program keluarga berencana (KB), yang dapat menjadi langkah awal untuk mengurangi kepadatan yang berlebihan di wilayah-wilayah perkotaan seperti Jakarta.

III.         Solusi

Untuk mengatasi fenomena permukiman padat yang memaksa warga, seperti yang dialami oleh Nenek Hasna dan keluarganya, untuk tidur secara bergantian dan hidup dalam kondisi yang sangat terbatas, diperlukan pendekatan yang komprehensif dari berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Berikut beberapa solusi yang dapat diterapkan untuk mengurangi masalah ini:

1.  Peningkatan Akses dan Kualitas Perumahan

  •  Penyediaan Rumah Terjangkau: Pemerintah perlu memperbanyak pembangunan rumah dengan harga terjangkau bagi keluarga berpenghasilan rendah. Program seperti pembangunan rumah susun atau perumahan vertikal dapat menjadi solusi untuk mengatasi keterbatasan lahan di kawasan padat seperti Jakarta.
  • Subsidi Perumahan: Selain pembangunan perumahan baru, pemerintah dapat memberikan subsidi atau bantuan pembiayaan kepada keluarga dengan penghasilan rendah agar mereka dapat membeli atau menyewa rumah yang lebih layak.
  • Renovasi Rumah Tidak Layak Huni: Bagi keluarga yang sudah memiliki rumah tetapi dalam kondisi tidak layak huni, pemerintah dapat mengalokasikan anggaran untuk renovasi rumah agar lebih nyaman dan aman untuk dihuni.

2.  Penguatan Program Keluarga Berencana (KB)

  •  Edukasi dan Penyuluhan: Pemerintah harus lebih intensif dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya program keluarga berencana untuk mengurangi angka kelahiran dan mengendalikan pertumbuhan populasi, terutama di wilayah perkotaan yang sudah padat. Edukasi ini dapat dilakukan melalui kampanye, penyuluhan di tingkat RT/RW, dan kerjasama dengan tokoh masyarakat.
  • Akses yang Lebih Mudah terhadap Layanan KB: Memperluas jangkauan layanan KB dengan menyediakan akses yang lebih mudah dan murah, terutama di kawasan dengan kepadatan tinggi. Hal ini dapat membantu keluarga untuk merencanakan jumlah anggota keluarga mereka sesuai dengan kemampuan ekonomi dan ketersediaan ruang.

3.  Peningkatan Infrastruktur dan Layanan Umum

  •  Peningkatan Infrastruktur Dasar: Selain perumahan, kebutuhan akan infrastruktur dasar seperti sanitasi, air bersih, dan listrik juga harus menjadi prioritas. Dengan memperbaiki infrastruktur, kualitas hidup masyarakat di kawasan padat dapat meningkat.
  • Penyediaan Fasilitas Umum: Pemerintah harus menyediakan lebih banyak fasilitas umum yang dapat digunakan oleh warga, seperti ruang terbuka hijau, taman bermain, dan pusat komunitas. Ini akan membantu mengurangi tekanan pada rumah tinggal yang sempit dan memberikan ruang bagi warga untuk berinteraksi.

4.  Program Pemberdayaan Ekonomi dan Pelatihan

  •  Pelatihan Keterampilan: Agar masyarakat dapat memiliki akses ke pekerjaan yang lebih baik dan dapat meningkatkan penghasilan, pemerintah dan lembaga swasta dapat menyediakan pelatihan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar, seperti pelatihan dalam bidang digital, keterampilan teknis, atau kewirausahaan.
  • Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Pemerintah dapat memfasilitasi pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) dengan memberikan akses modal, pelatihan, dan pemasaran produk, sehingga masyarakat dapat meningkatkan pendapatan mereka tanpa harus bergantung pada pekerjaan informal yang kurang stabil.

5.  Peningkatan Peran Masyarakat dan Swasta

  •  Kolaborasi dengan Sektor Swasta: Pihak swasta, termasuk perusahaan properti, dapat berperan dalam pembangunan rumah dengan harga terjangkau atau mendukung program sosial yang berfokus pada perbaikan kualitas hidup masyarakat berpenghasilan rendah.
  • Gotong Royong Masyarakat: Di tingkat komunitas, masyarakat dapat diorganisir untuk bekerja sama dalam meningkatkan kualitas lingkungan mereka, seperti program gotong royong untuk perbaikan lingkungan, membersihkan lingkungan sekitar, dan membangun fasilitas umum bersama.

6.  Penyuluhan dan Bantuan Psikologis

  • Layanan Konseling: Mengingat tekanan psikologis yang dihadapi oleh keluarga-keluarga yang hidup dalam kondisi sempit dan sulit, pemerintah dan lembaga sosial dapat menyediakan layanan konseling atau dukungan psikologis untuk membantu mereka mengatasi stres dan kecemasan akibat kondisi kehidupan yang penuh tantangan.
  • Pemberdayaan Sosial: Masyarakat perlu diberdayakan untuk saling mendukung, baik dalam hal sosial, emosional, maupun Program penguatan hubungan sosial dalam komunitas dapat membantu mengurangi perasaan kesepian atau frustrasi yang sering dialami oleh mereka yang hidup dalam kondisi padat dan penuh keterbatasan.

7.  Perencanaan Kota yang Berkelanjutan

  •  Desain Kota Berkelanjutan: Pemerintah daerah harus merencanakan kota dengan pendekatan yang lebih berkelanjutan dan ramah terhadap lingkungan, termasuk merencanakan zonasi yang memperhatikan keseimbangan antara perumahan, ruang terbuka, dan area komersial. Pembangunan kota yang terencana dengan baik akan mengurangi kepadatan yang berlebihan dan menciptakan kualitas hidup yang lebih baik bagi penduduk.

Dengan menerapkan solusi-solusi ini, diharapkan masalah kepadatan penduduk dan kesulitan hidup yang dihadapi oleh keluarga-keluarga seperti Nenek Hasna dapat dikurangi. Selain itu, langkah-langkah ini akan berkontribusi pada pembangunan kota yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan memberikan kualitas hidup yang lebih baik bagi seluruh warganya.

IV.        Referensi

Fzya, N. (2023, June 26). Tidur shift-shift-an di pemukiman padat penduduk Jakarta. Kompasiana. Retrieved from: https://www.kompasiana.com/nadaafzya3748/6726e8c234777c435c6411c2/tidur-shift-shiftan-di-pem ukiman-padat-penduduk-jakarta

Volix Media. (2023, March 22). Nenek Hasna dan kehidupan di Tanah Tinggi [Video]. YouTube. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=M0sehW6ft8M&t=1093s

Radar Malang. (2023, May 15). Nenek Hasna dan keluarga tidur shift-shift-an di rumah 2×3 meter. Radar Malang. Retrieved from: https://radarmalang.jawapos.com/nusantara/815295488/nenek-hasna-dan-keluarga-tidur-shift-shifan-d i-rumah-2×3-meter?page=2#google_vignettea

Arjuna Andio