Indonesia, Distopia atau Utopia? : Totaliterisme dan Kebebasan Berpendapat dalam Studi Literatur Novel 1984 oleh George Orwell

Oleh : Jessica Nathania Wenardi | PPTI 19 | 2702363765

“War is peace. Freedom is slavery. Ignorance is strength.” – George Orwell, 1984

Distopia dan utopia merupakan satu pemikiran dalam genre penulisan novel yang saling bertolak belakang satu sama lainnya. Distopia didefinisikan sebagai pemikiran yang menentang utopia. Jika utopia digambarkan sebagai keadaan masyarakat yang ideal, distopia digambarkan sebagai keadaan masyarakat yang tidak dapat diandalkan, masa depan yang menakutkan dan tidak bahagia. Distopia tertumpah pada karya sastra seorang bernama Eric Arthur Blair yang lebih dikenal dengan nama pena George Orwell. Sebagai bentuk manifestasi dari ide tentang apa yang telah dilihat dan dirasakannya terbitlah sebuah novel dengan judul “1984” pada tahun 1949 (Fauzi, Septiaji, & Sutrisna. 2021). Banyak satir politik yang ditulis oleh George Orwell dalam buku 1984. Setelah blok sentral runtuh pada tahun 1917–1918, banyak kebangkitan dan revolusi terjadi selama periode perang dunia pertama hingga perang dunia kedua. Perang Dunia kedua, Perang Sipil Spanyol, dan Revolusi Sosial Rusia 1917 adalah beberapa katalis yang mendorong pemikiran George Orwell tentang kebenaran dan ideologi. Revolusi sosial di Rusia melahirkan 2 tokoh penting yaitu Vladimir Lenin dan juga Joseph Stalin. Lenin menjadi pemimpin Uni Soviet pertama dan Uni Soviet menjadi negara sosialis pertama pada saat itu. Kematian dini Lenin menyebabkan kekuasaan atas Uni Soviet diturunkan atas Joseph Stalin, sebagai salah satu tokoh sentral dalam revolusi Oktober dengan ambisi yang besar. Ideologi sosialisme menjadi inti dari partai di bawah pemerintahan Stalin. Peristiwa the Great Purge—pembersihan massif yang dilakukan Stalin terhadap musuh politiknya yang dianggap sebagai “enemies of the people”—merupakan puncak dari pemerintahan otoritarian Stalin. Propaganda pembangunan Rusia “2+2 = 5” oleh George Orwell digunakan sebagai majas satire untuk menunjukkan kecenderungan otoriter dalam menangguhkan realitas. Selain Revolusi Rusia, sebagai jurnalis George Orwell terjun langsung di Spanyol dalam Perang Sipil Spanyol. Ketika bertempur dalam Perang Saudara

Spanyol, Orwell menjadi kecewa dengan elemen-elemen dalam kekuatan perlawanan yang menurutnya ingin menggantikan pemerintahan Fasis dengan rezim otoriternya sendiri. Peristiwa terakhir adalah Perang Dunia Kedua yang dipicu oleh Adolf Hitler melalui Nazi. Kebangkitan Hitler, membuat George Orwell menyadari bahwa media massa adalah faktor kunci yang memungkinkan tokoh-tokoh dan organisasi terkemuka untuk membentuk opini publik dalam skala yang luas. Paham fasisme dan kediktatoran Hitler menjadi bukti yang sangat jelas berbahaya bagi peradaban manusia. Penulisan konsep distopia oleh George Orwell didasari oleh pemikiran dan ketakutan bahwa dunia akan semakin menuju ke arah otoriterisme atau bahkan totaliterisme–sebuah paham yang muncul dari perbandingan Stalin dan Hitler, sebagai bentuk pemerintahan dengan kekuasaan negara tidak terbatas dan mengendalikan hampir semua aspek kehidupan publik dan pribadi. Dalam novel ini, Orwell menyoroti bagaimana negara dapat menggunakan kekuatan politik, teknologi, dan manipulasi informasi untuk menciptakan masyarakat yang dikendalikan secara mutlak.

Novel 1984 menceritakan mengenai Winston Smith sebagai karakter protagonis utama yang hidup dalam masa pemerintahan yang totaliter yang sinis. Berlatar belakang di negara fiktif bernama Oceania dan dipimpin oleh Big brother–penguasa yang maha melihat dan mahakuasa. Namun, Big Brother tidak pernah muncul secara eksplisit sebagai karakter novel yang memiliki adegan dan peran, tetapi wajahnya selalu terlihat sebagai pengawasan yang penuh. Salah satu kutipan yang paling terkenal adalah “Big Brother is watching you”. Sebagai sistem pemerintahan yang totaliter, Big Brother bekerja sama dengan partai politik dan departemen-departemen pemerintahannya untuk mengontrol perilaku, pikiran, sikap, dan hak memilih orang. Winston Smith bekerja di Departemen Kebenaran–sebuah hal yang ironis, sebab kebenaran dituliskan ulang sesuai dengan keinginan dan perintah penguasa–dan bertugas untuk menyunting berita yang telah lalu. Meskipun secara lahiriah, Winston menuruti keinginan partai, namun ia menyimpan pikiran-pikiran oposisi. Winston digambarkan sebagai seseorang yang mendambakan kebenaran, realitas, dan kebebasan di tengah pergolakan batin. Bibit-bibit pemberontakan dimulai dengan tulisan diary Winston yang berisi pemikirannya mengenai rezim kala itu. Setelah membaca buku Emmanuel Goldstein tentang sejarah Oceania—seorang mantan anggota partai namun menjadi pemimpin gerakan pemberontak—Winston bergabung dengan partai oposisi brotherhood. Winston mendapatkan buku tersebut melalui ajakan O’brien yang menyamar sebagai anggota partai brotherhood untuk menjebak Winston dan Julia–kekasih gelap Winston. Novel ini tidak memiliki akhir yang bahagia, tidak ada perlawanan heroik yang bisa memutuskan rantai totaliterisme yang terjadi. Pada akhirnya Winston dan Julia ditangkap, disiksa, dipersekusi, dan dicuci otak total oleh Departemen Cinta–ironisnya lagi, nama berbanding terbalik dengan fungsinya yang “mendidik ulang” para pembangkang dalam bentuk manipulasi psikologis. Dalam waktu siksaannya, Winston dipaksa untuk mengkhianati keyakinannya dan cintanya pada Julia. Pada akhirnya, yang sangat miris, semua orang (bisa) mencintai Big Brother lewat proses represi yang terus-menerus, siksaan fisik & batin, dan pencomotan hak-hak kemanusiaan mereka secara berkala, tidak ada kebebasan yang ada hanyalah kepatuhan yang dikondisikan.

Konsep totaliterisme yang muncul dalam novel 1984 menyangkut pengawasan massal, bahasa sebagai media kontrol dan propaganda melalui kebijakan newspeak, manipulasi sejarah dan fakta, dan represi terhadap kebebasan berpikir sehingga setiap perbedaan pendapat dianggap sebagai pemberontakan. Rezim totaliter mengontrol hal-hal yang sangat privat seperti suara hati, hati nurani, kehendak, dan pikiran yang merupakan ruang singular hubungan manusia dengan dirinya dan sumber kebebasan kehendak manusia (Tan, 2024). Dalam konteks totaliterisme, terdapat 2 kategori kejahatan yaitu kejahatan politis yang bersifat sistematis–yang berarti rezim memiliki tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai melalui penyebaran ideologi totaliter atau pengambilan hak manusia sebagai makhluk bebas berpikir–dan kejahatan sebagai produk kegagalan manusia dalam berpikir–ketidakberpikiran (Keladu, 2018 dalam Tan, 2024). Makhluk hidup dipimpin dan diatur oleh bahasa yang mengikat mereka dan melalui bahasa serta lisan kebebasan berpikir dan logika dilemahkan. Mekanisme kontrol ini tidak hanya muncul dalam karangan fiksi belaka namun juga dalam pemerintahan bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia.

Media massa saat ini seringkali digunakan sebagai alat komunikasi politik yang efektif untuk mempengaruhi persepsi dan asumsi publik dalam bentuk bahasa politik atau propaganda (Hendaryan, Afifah, dan Hidayat, 2024). Pembangunan digital yang semakin pesat telah mempercepat penyebaran informasi, tetapi juga membuka ruang bagi misinformasi dan propaganda yang terstruktur melalui media massa (Siagian, Siahaan, Hamzah, 2023). Penyebaran berita bohong, penggunaan bot media sosial, serta manipulasi opini publik melalui algoritma digital menjadi strategi baru dalam mengendalikan persepsi masyarakat. Dalam konteks ini, bahasa Newspeak menjadi relevan karena kebijakan yang diterapkan dapat mengubah makna kata dan membatasi wacana publik. Newspeak memutarbalikkan makna kata yang lazim, membuat yang buruk terlihat baik, “bukan kelangkaan, namun keterbatasan”, “bukan kolaps, namun over kapasitas”, “bukan kenaikan harga, namun penyesuaian harga”. Hal ini semakin memperkuat kendali negara terhadap opini publik, serupa dengan metode yang digunakan dalam 1984 untuk memastikan kesetiaan warga terhadap Partai. Totaliterisme tampak dalam pembatasan kemampuan berpikir kritis masyarakat melalui manipulasi bahasa dan distorsi bahasa. Distorsi bahasa yang sama yang digunakan Soeharto dalam mengenalkan proyek pembangunan yang melanggengkan kekuasaannya menjadi totaliterisme (Islamiyah, Muzaki 2021).

UU ITE menjadi contoh nyata bagaimana kebijakan hukum dapat bertindak sebagai pedang bermata dua—di satu sisi memberikan kepastian hukum terhadap kejahatan siber, tetapi di sisi lain digunakan sebagai alat untuk overcriminalization, yaitu kriminalisasi berlebihan terhadap individu yang mengungkapkan opini kritis terhadap pemerintah. Pasal-pasal yang bersifat multitafsir seperti pencemaran nama baik dan ujaran kebencian (sering dianggap sebagai pasal karet sebab tidak terdapat batasan yang jelas mengenai unsur penghinaan dan pencemaran nama baik pada pasal tersebut) seringkali digunakan untuk membungkam kritik, sehingga bertentangan dengan hak kebebasan berpendapat yang dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945. Menurut analisis Fakultas Hukum Universitas Indonesia, UU ITE telah disalahgunakan untuk menekan kebebasan berekspresi, terbukti dengan meningkatnya kasus pelaporan individu yang hanya menyampaikan opini di media sosial.

Contoh kasus seperti penangkapan aktivis dan jurnalis atas tuduhan pencemaran nama baik menunjukkan bagaimana hukum dapat dijadikan alat kontrol negara yang menyerupai mekanisme totaliterisme dalam 1984 yang menggambarkan perbedaan pendapat sebagai ancaman terhadap stabilitas rezim.

Melihat perkembangan ini, pertanyaan utama yang muncul sekarang adalah apakah Indonesia sedang menuju distopia atau masih memiliki harapan menuju utopia. Melihat novel 1984 merupakan gambaran distopia Orwell dari tahun 1949 dan tahun 1984 pun sudah puluhan tahun yang lalu. Namun, diskursus mengenai novel ini meningkat di kalangan netizen. Berdasarkan realitas yang ada, Indonesia tampaknya semakin mendekati gambaran distopia yang digambarkan dalam 1984, di mana kontrol negara terhadap informasi dan opini publik semakin menguat dengan propaganda Newspeak dan juga pasal karet dari UU ITE. Jika kebijakan-kebijakan yang menekan kebebasan individu terus diberlakukan tanpa adanya mekanisme demokratis yang kuat, Indonesia berisiko kehilangan nilai-nilai demokrasi yang selama ini dijunjung tinggi. Seharusnya fenomena ini menjadi bahan refleksi untuk semua pihak, bahwa akan sulit melanggengkan demokrasi tanpa adanya suara rakyat. Jika kepentingan rakyat terus dibungkan dan diadili, 1984 bukanlah angan belaka namun sedang terjadi. Oleh karena itu, perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia harus diperjuangkan agar Indonesia tidak jatuh ke dalam kegelapan totaliterisme.

Referensi

  1. Fauzi, I. C. N., Septiaji, A., & Sutrisna, D. (2021). Ideologi tokoh novel 1984 karya george orwell (pendekatan sosiologi sastra sebagai bahan ajar di sma). System Thinking Skills dalam Upaya Transformasi Pembelajaran di Era Society 5.0, 532–541.
  2. Hendrayan, Afifah, D., & Hidayat, T. (2024). Penggunaan bahasa propaganda berdimensi politik pada situs berita online detikcom . Jurnal Literasi, 8(1), 136–151.
  3. Islamiyah, H. (2021). Distorsi bahasa komunikasi politik jokowi mengenai pembangunan papua. JIKE : Jurnal Ilmu Komunikasi Efek, 4(2), 192–210.
  4. Longley, R. (2024, July 23). Fascism vs Totalitarianism & Authoritarianism. Retrieved from https://www.thoughtco.com/totalitarianism-authoritarianism-fascism-4147699
  5. Nikkari, (n.d.). Bak Pisau Bermata Dua: UU ITE Memberikan Kepastian Hukum atau Alat Overcriminalization?. Retrieved from: https://lk2fhui.law.ui.ac.id/portfolio/bak-pisau-bermata-dua-uu-ite-memberikan-kepast ian-hukum-atau-alat-overcriminalization/
  6. Orwell, G. (2014). 1984 (Indonesian Edition) (L. Simatupang & I. Y. Kurniasih, Eds.; 2nd ed.). PT Bentang Pustaka.
  7. Siagian, R., Siahaan, L., & Hamzah, M. I. (2023). Human Rights in The Digital Era: Online Privacy, Freedom Of Speech, and Personal Data Protection. JOURNAL OF DIGITAL LEARNING AND DISTANCE EDUCATION, 2(4), 513–523.
  8. Sparknotes. (n.d.-a). Historical Context: Why Orwell Wrote 1984. Retrieved from: https://www.sparknotes.com/lit/1984/context/historical/why-orwell-wrote-1984/
  9. Sparknotes. (n.d.-b).                   The              Russian       Revolution              Context.              Retrieved    from: https://www.sparknotes.com/history/russian-revolution/context/
  10. Tan, (2024). Totalitarianisme, Banalitas Kejahatan dan Kebebasan Berpikir: Refleksi Bersama Hannah Arendt. Jurnal Filsafat Indonesia, 7(1), 119–130.
Jessica Nathania Wenardi