FOMO sebagai Pemicu Perilaku Konsumtif : Kebutuhan atau Keinginan?

Oleh : Putu Nirvana Putri Arta | PPTI 19 | 2702363872

Dalam gelombang digitalisasi, media sosial mulai menjelma menjadi refleksi dari eksistensi manusia. Media sosial tak sekadar menjadi alat komunikasi, tetapi juga panggung dimana manusia membangun narasi tentang diri mereka. Akses yang mudah terhadap berbagai informasi, seperti peristiwa, aktivitas, dan diskusi yang terjadi di dunia maya telah memunculkan fenomena baru yang saat ini dikenal sebagai Fear of Missing Out (FOMO). FOMO mengacu pada kecemasan atau ketakutan seseorang akan tertinggal dari tren, peristiwa, atau pengalaman yang dinikmati oleh orang lain (Przybylski et al., 2013). Dalam aspek konsumsi, FOMO dapat mendorong seseorang untuk membeli barang atau jasa bukan berdasarkan kebutuhan, melainkan karena dorongan sosial agar tetap relevan di lingkungannya. Fenomena ini berisiko membentuk pola konsumsi yang tidak bertanggung jawab, dimana keputusan pembelian lebih dipengaruhi oleh faktor sosial dibandingkan dengan nilai fungsional produk.

Konsep FOMO dapat dikaji lebih dalam melalui teori Self-Determination yang diperkenalkan oleh Deci dan Ryan. Manusia, dalam esensinya, merupakan makhluk yang terus mencari makna dalam setiap tindakannya. Mereka tidak hanya mengejar kebutuhan materi, tetapi juga berusaha memenuhi tiga pilar psikologis yang menopang eksistensinya, yaitu kompetensi (competence), otonomi (autonomy), dan keterhubungan sosial (relatedness). Dalam konteks konsumsi terkait FOMO, kebutuhan akan keterhubungan sosial menjadi faktor utama yang mendorong individu untuk mengikuti tren dan gaya hidup yang populer di media sosial. Rasa keterhubungan ini mencerminkan kebutuhan seseorang untuk diterima dan menjadi bagian dari suatu kelompok atau komunitas. Ketika seseorang melihat teman atau publik figur membagikan pengalaman konsumsi mereka—baik dalam bentuk pembelian barang, perjalanan, maupun gaya hidup—muncul dorongan psikologis untuk ikut serta dalam tren tersebut guna mempertahankan rasa keterhubungan sosial (Przybylski et al., 2013).

Kita memasuki era dimana eksistensi semakin dikonstruksi oleh algoritma. Kebutuhan akan keterhubungan sosial tidak lagi sebatas dorongan alamiah, melainkan telah menjelma menjadi mekanisme yang mengikat individu dalam jaringan ekspektasi sosial. Manusia ingin diakui, didengar, dan diterima. Dalam konteks konsumsi, hasrat ini sering kali menemukan jalannya melalui tren dan gaya hidup yang dibangun oleh media sosial. Namun, dunia digital tidak hanya menyediakan ruang untuk ekspresi diri, tetapi juga melipatgandakan tekanan sosial yang tak kasat mata. Konten yang diatur secara selektif menciptakan ilusi bahwa kehidupan yang ideal harus selalu terkoneksi, mengikuti tren, dan terus memperbarui citra diri agar tetap relevan. Disinilah tingkat otonomi individu dalam mengambil keputusan diuji. Mereka yang memiliki kemandirian psikologis yang lebih rendah cenderung lebih mudah larut dalam arus tren konsumsi, mengorbankan keutuhan identitasnya demi memenuhi standar sosial yang terus bergerak (Sheldon et al., 2011).

Dari perspektif konsumsi simbolik, fenomena ini menunjukkan bahwa nilai sebuah barang tidak lagi terletak pada manfaat praktisnya, tetapi pada cerita yang melekat padanya. Barang bukan sekadar objek fungsional, tetapi simbol status, afiliasi sosial, dan bahkan representasi diri di mata orang lain. Identitas individu semakin dikaitkan dengan apa yang mereka miliki, bukan sekadar siapa mereka sebenarnya. Namun, pencarian yang tak berkesudahan ini membawa konsekuensi yang tidak selalu selaras dengan kesejahteraan individu. Kebiasaan konsumsi berbasis FOMO berisiko menimbulkan stres finansial, perasaan menyesal setelah pembelian, dan ketidakpuasan yang berulang. Ketika standar hidup yang dipamerkan di media sosial menjadi tolak ukur kebahagiaan, individu berisiko kehilangan kendali atas realitasnya sendiri, terjebak dalam upaya memenuhi ekspektasi yang tidak pernah benar-benar dapat dipenuhi. Tidak sedikit anak muda yang rela berhutang atau mengorbankan kebutuhan primer demi memperoleh barang atau pengalaman yang membuat mereka merasa lebih diterima dalam lingkungan sosialnya. Selain itu, konsumsi tidak bertanggung jawab juga berdampak pada keberlanjutan lingkungan, karena berkontribusi terhadap peningkatan jumlah limbah dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali (Gossen et al., 2019).

Maka dari itu, muncul pertanyaan yang lebih mendalam, apakah konsumsi berbasis FOMO merupakan kebutuhan sejati atau sekadar keinginan yang dibentuk oleh ilusi sosial? Jawabannya terletak pada kesadaran individu dalam menavigasi arus informasi dan ekspektasi sosial yang mengelilinginya. Dengan memahami bahwa validasi diri tidak harus ditemukan dalam kepemilikan materi dan bahwa eksistensi seseorang tidak bergantung pada seberapa terkoneksi ia dengan tren, individu dapat melepaskan diri dari jerat konsumsi yang tidak bertanggung jawab. Bukan untuk menolak kemajuan, tetapi untuk membantu individu kembali mengendalikan makna hidupnya. Dalam dunia yang semakin penuh dengan tuntutan untuk selalu hadir dan mengikuti, justru kemampuan untuk tenang dan memilih tidak selalu terlibat lah yang menjadi bentuk kebebasan tertinggi.

Referensi

Abel, J. P., Buff, C. L., & Burr, S. A. (2016). Social media and the fear of missing out: Scale development and assessment. Journal of Business & Economics Research, 14(1).

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2000). The” what” and” why” of goal pursuits: Human needs and the self-determination of behavior. Psychological inquiry, 11(4), 227-268.

Gossen, M., Ziesemer, F., & Schrader, U. (2019). Why and how commercial marketing should promote sufficient consumption: a systematic literature review. Journal of Macromarketing, 39(3), 252-269.

Hodkinson, C. (2019). ‘Fear of Missing Out’(FOMO) marketing appeals: A conceptual model. Journal of Marketing Communications, 25(1), 65-88.

Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out. Computers in human behavior, 29(4), 1841-1848.

Sheldon, K. M., Abad, N., & Hinsch, C. (2011). A two-process view of Facebook use and relatedness need-satisfaction: disconnection drives use, and connection rewards it. Journal of personality and social psychology, 100(4), 766.

Putu Nirvana Putri Arta