Dampak Disleksia terhadap Akses Pendidikan yang Berkualitas
Oleh : Helena Viveca Handoyo | 2702363670 | PPTI 19
Pendidikan adalah salah satu faktor yang paling fundamental dalam perkembangan suatu negara. Dengan pendidikan yang berkualitas, masyarakat dapat meningkatkan kualitas hidup dan juga meningkatkan kontribusi mereka untuk memajukan negara.
Hal ini menunjukan bahwa pendidikan sangat berperan dalam membentuk kesadaran masyarakat untuk memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara. Sejalan dengan Undang-undang nomor 20 Tahun 2003, Pendidikan didefinisikan sebagai “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Salah satu aspek krusial untuk mewujudkan tujuan dari pendidikan ini adalah kemampuan dasar seperti membaca. Sayangnya, sulit bagi anak-anak dengan disleksia untuk menguasai keterampilan ini.
Disleksia adalah gangguan yang mempengaruhi cara otak memproses bahasa, termasuk keterampilan membaca, menulis, dan juga mengenali huruf. Meskipun disleksia tidak memengaruhi kecerdasan seseorang, peserta didik dengan disleksia memiliki kesulitan dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas. Hingga saat ini, belum terdapat data resmi dari pemerintah Indonesia mengenai jumlah anak yang memiliki disleksia. Namun, prevelansi umum yang digunakan untuk memperkirakan populasi yang memiliki disleksia adalah sekitar 10% (Hoeft, McCardle, & Pugh, 2015).
Jumlah anak disleksia di Indonesia tidaklah sedikit, melainkan cukup signifikan. Namun, kesadaran disleksia di Indonesia masih tergolong rendah. Sebenarnya sudah terdapat organisasi di Indonesia yang terfokus pada disleksia seperti Asosiasi Disleksia Indonesia. Walaupun demikian, kegiatan dari organisasi tersebut sulit untuk ditemukan karena kurangnya publikasi di media sosial. Hal ini menyebabkan masyarakat kesulitan untuk mengetahui apa saja yang organisasi tersebut sudah lakukan, cara masyarakat dapat berpartisipasi dan bagaimana orang penyandang disleksia dapat mendapat dukungan. Akibatnya, kesadaran dan perhatian masyarakat di Indonesia dapat tetap rendah dan akses untuk mendapat informasi dan dukungan menjadi lebih terbatas.
Peran guru sangat menentukan keberhasilan siswa disleksia dalam belajar. Guru yang memiliki pemahaman baik tentang disleksia dapat mengenali kesulitan siswa sejak dini, menerapkan metode pengajaran yang sesuai, serta menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif. Dengan pendekatan yang tepat, anak dengan disleksia dapat lebih mudah memahami materi, meningkatkan rasa percaya diri, dan berkembang secara optimal. Sebaliknya, jika guru tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang disleksia, mereka cenderung salah menilai kemampuan siswa. Anak disleksia sering dianggap malas, tidak fokus, atau bahkan kurang cerdas, padahal mereka hanya membutuhkan cara belajar yang berbeda. Sayangnya, pelatihan khusus bagi guru mengenai disleksia di Indonesia masih sangat terbatas. Menurut Trubus Raharjo, seorang psikolog lulusan UGM, pemahaman guru dan psikolog mengenai disleksia masih minim, sehingga banyak guru tidak tahu bagaimana cara mendampingi siswa dengan kondisi ini. Akibatnya, anak disleksia lebih rentan mengalami kesulitan belajar, kehilangan motivasi, dan semakin tertinggal dalam pendidikan mereka.
Pendidikan yang berkualitas adalah hak setiap individu, termasuk anak dengan disleksia. Namun, rendahnya kesadaran tentang disleksia dan kurangnya dukungan yang memadai menghambat akses mereka terhadap pembelajaran yang efektif. Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret untuk meningkatkan pemahaman masyarakat dan tenaga pendidik mengenai disleksia. Pelatihan khusus bagi guru, kebijakan pendidikan yang lebih inklusif, serta dukungan yang lebih luas dari organisasi dan pemerintah menjadi kunci dalam memastikan anak dengan disleksia mendapatkan kesempatan yang sama dalam pendidikan. Dengan upaya bersama, kita dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan memastikan bahwa setiap anak, tanpa terkecuali, dapat mengembangkan potensinya secara optimal.
Referensi:
- Alqindi, A. N. (2024). “Disleksia dalam Pendidikan: Tantangan yang Dihadapi dan Strategi Pembelajaran yang Mendukung”.Jurnal Intelek Dan Cendikiawan Nusantara, 1(6), 10140-10147. https://jicnusantara.com/index.php/jicn/article/view/1938
- Haifa, N., Mulyadiprana, A., & Respati, R. (2020). “Pengenalan anak pengidap disleksia”.
- International Dyslexia Association. (n.d.). “Dyslexia basics”. Retrieved from https://dyslexiaida.org/dyslexia-basics/
- Kusumawardana, D. & Rosita, T. (2021). “Dampak Hambatan Disleksia Pada Self- Esteem Siswa di Sekolah Dasar Inklusi. https://doi.org/10.22460/collase.v4i2.6983
- Rismanto. (2020).” Penerapan Metode Simultaneous Multisensory Teaching untuk Anak dengan Disleksia”. Jurnal Pendidikan Khusus, 7(2), 45-56.
- Safitri, F., Ali, F. N., & Latipah, E. (2022). “Ketidakmampuan membaca (disleksia) dan dampaknya terhadap perkembangan anak”.
- Universitas Gadjah Mada. (2021). “Memahami dan mendiagnosis anak dengan disleksia”. Retrieved from https://psikologi.ugm.ac.id/memahami-dan-mendiagnosis-anak- dengan-disleksia/
- Wagner, R. K., Zirps, F. A., Edwards, A. A., Wood, S. G., Joyner, R. E., Becker, B. J., Liu, G., & Beal, B. (2020). The prevalence of dyslexia: A new approach to its estimation. “Journal of Learning Disabilities”, 53(5), 354-365. https://doi.org/10.1177/0022219420920377