KPK Makin Lemah

Oleh: Alfensius Alwino, S.Fil., M.Hum

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga produk reformasi yang ditugaskan untuk memberangus korupsi yang begitu menggurita di era Orde Baru (Orba). Indonesia memiliki komitmen untuk menjalankan sistem pemerintahan yang bebas dari korupsi. Oleh sebab itu, KPK ditugaskan untuk mengawal sistem yang bersih dan bebas dari praktik kotor warisan Orba.

Sebagai hasilnya, KPK pernah dalam satu fase tertentu, menjadi lembaga yang paling banyak mendapat dukungan dari Masyarakat. KPK tidak main-main dengan tindakan pemberantasan korupsi. Semua pejabat negara yang terindikasi korupsi, langsung disikat oleh KPK. KPK tidak pandang bulu dalam sistem pemberantasan korupsi. Apakah dia Anggota DPR, Hakim MK, Jenderal Polisi, Ketua Partai, Menteri, Gubernur, dan Bupati, semuanya pernah dicokok KPK.

Ceritera kedigdayaan KPK berhenti sejak munculnya undang-undang yang mengubah kewenangan KPK pada tahun 2019. Undang-Undang terbaru yang mengatur tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah UU No. 19 Tahun 2019, yang merupakan perubahan kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Beberapa poin penting dalam UU No. 19 Tahun 2019 antara lain, pertama, mengenai Pembentukan Dewan Pengawas. Undang-undang ini memperkenalkan Dewan Pengawas yang bertugas mengawasi kinerja KPK. Dewan Pengawas memiliki wewenang untuk memberikan izin atau tidak memberikan izin terhadap penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang dilakukan oleh KPK. Padahal sebelumnya, KPK begitu leluasa dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Tidak ada intervensi dari lembaga manapun.  Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh Presiden menimbulkan kekhawatiran tentang independensi KPK. Ada kekhawatiran bahwa Dewan Pengawas dapat menjadi alat kontrol politik yang membatasi gerak KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi dan politisi. Proses pemilihan anggota Dewan Pengawas yang kurang transparan menimbulkan kekhawatiran tentang adanya intervensi politik dalam penunjukan anggota Dewan Pengawas, sehingga dapat mempengaruhi objektivitas dan kinerja KPK.

Kedua, Pembatasan Penyadapan. Penyadapan adalah salah satu alat yang sangat efektif dalam upaya pemberantasan korupsi, karena memungkinkan KPK untuk mengumpulkan bukti yang kuat terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Pembatasan kewenangan penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan salah satu faktor yang menyebabkan lembaga ini menjadi semakin lemah. Penyadapan yang dilakukan KPK harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas, yang sebelumnya bisa dilakukan tanpa izin. Sebelumnya, KPK dapat melakukan penyadapan secara mandiri tanpa harus mendapatkan izin dari pihak lain. Dengan aturan baru, KPK harus melalui proses perizinan yang lebih panjang dan birokratis, yang dapat memperlambat tindakan cepat yang sering kali diperlukan dalam investigasi kasus korupsi. Dampak dari pembatasan kewenangan penyadapan tersebut dapat menghambat investigasi. Pembatasan ini membuat proses investigasi menjadi lebih lambat dan kurang efektif. Koruptor dapat memanfaatkan waktu tambahan yang diperlukan untuk mendapatkan izin penyadapan untuk menghilangkan bukti atau menghindar dari penangkapan. Ketika KPK memiliki kewenangan penyadapan yang luas, hal ini memberikan efek jera bagi para koruptor karena mereka tahu bahwa tindakan mereka dapat dipantau setiap saat. Pembatasan penyadapan mengurangi rasa takut ini dan dapat mendorong pelaku korupsi untuk lebih berani melakukan tindak pidana.

Ketiga, Kewenangan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara).  KPK diberikan kewenangan untuk mengeluarkan SP3, yang sebelumnya tidak dimiliki. SP3 memungkinkan KPK menghentikan penyidikan suatu kasus jika tidak ditemukan cukup bukti atau jika tidak selesai dalam jangka waktu dua tahun. Kewenangan KPK untuk memberikan SP3 berdampak pada menurunkan kepercayaan publik terhadap KPK. Masyarakat meragukan independensi dan integritas KPK jika kasus-kasus besar dihentikan tanpa penjelasan yang memadai . SP3 rawan dengan intervensi politik.  Kewenangan untuk menghentikan penyidikan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan intervensi politik terutama untuk menghentikan kasus yang melibatkan tokoh politik atau pejabat penting.

Perubahan-perubahan kewenangan KPK melalui UU No. 19 Tahun 2019 jelas-jelas mengurangi efektivitas KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi besar dan mengurangi independensinya sebagai lembaga antikorupsi di Indonesia. Perubahan UU KPK ternyata merupakan upaya sistematis untuk melemahkan KPK.

Daftar Pustaka:

Chazawi, Adami, 2016, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo        Persada.

Djaja, Ermansjah, 2008, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta : Sinar
Grafika.

Yusuf, Muhammad.2013. Merampas Aset Koruptor, Jakarta : PT Kompas Media Nusantara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) .

Internet:

Https://majalah.tempo.co/tag/pelemahan-kpk

Https://nasional.kompas.com/read/2021/05/04/16310971/nilai-pelemahan-kpk-terstruktur-dan-sistematis-bw-inikah-legacy-yang?page=all

Alfensius Alwino, S.Fil., M.Hum