Harapan yang Terbit di Balik Runtuhnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Oleh: Alfensius Alwino, S.Fil., M.Hum
Polda Metro Jaya resmi menetapkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri pada Rabu (22/11/2023). Ketua Komisi Anti Rasuah itu ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL). Firli dituduh melakukan pemerasan dengan menyalahgunakan kekuasaannya dan menerima gratifikasi terkait penanganan masalah hukum di Kementerian Pertanian antara 2020-2023.
Penetapan Firli sebagai tersangka tentu merupakan pukulan telak bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Ketua KPK yang diharapkan menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, justru menjadi pelopor dalam kejahatan korupsi.
Penetapan Ketua KPK, Firli Bahuri, sebagai tersangka memiliki dampak signifikan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Selain merusak reputasi dan kredibilitas KPK sebagai lembaga antikorupsi, kasus tersebut juga menurunkan moral dan motivasi pegawai KPK untuk memberantas korupsi. Ketika ketua lembaga antikorupsi sendiri terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi, hal ini menimbulkan keraguan publik terhadap integritas dan efektivitas KPK dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, pegawai juga merasa tertekan dan kehilangan semangat dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi begitu pemimpin mereka terlibat dalam praktik yang mereka lawan. Kasus tersebut mengurangi dukungan publik, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi efektivitas kampanye antikorupsi dan kerjasama masyarakat dengan KPK.
Kendati demikian publik perlu melihat bahwa penetapan Firli sebagai tersangka bisa menjadi momen untuk mendorong reformasi di dalam KPK. Ada peluang untuk memperkuat mekanisme pengawasan dan akuntabilitas internal agar kasus serupa tidak terulang.
Beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh Pemerintah, DPR, dan Lembaga Penegak Hukum adalah, pertama, melakukan penguatan pengawasan dan akuntabilitas. Pemerintah dan DPR: Perlu memperkuat mekanisme pengawasan dan akuntabilitas di KPK. Ini bisa mencakup revisi kebijakan internal dan pengaturan yang lebih ketat untuk mencegah konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang di dalam KPK. Selain itu Pemerintah dan DPR perlu membentuk tim independen untuk mengawasi kinerja KPK dan memastikan integritas lembaga tersebut terjaga.
Kedua, Reformasi Struktural di internal KPK. Hal ini untuk memastikan lembaga bahwa lembaga tersebut tetap independen dan bebas dari intervensi politik. Ini termasuk perbaikan prosedur perekrutan pegawai dan pejabat KPK, serta peningkatan transparansi dalam operasional KPK.
Ketiga, Harus melakukan judicial review terhadap UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kewenangan dan independensi KPK yang lebih kuat, serta mengurangi potensi intervensi politik.
Keempat, melakukan penyelidikan yang transparan dan adil. Artinya, penyelidikan terhadap Firli Bahuri harus dilakukan secara transparan dan adil, tanpa adanya intervensi atau tekanan dari pihak manapun. Proses hukum yang adil akan membantu memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan KPK.
Daftar Pustaka:
Chazawi, Adami, 2016, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) .
Internet:
https://majalah.tempo.co/read/opini/170220/firli-bahuri-tersangka-pemerasan
https://majalah.tempo.co/read/hukum/169973/status-tersangka-firli-bahuri