Gen Z dan Radikalisme
Oleh: Dr. Iwan Irawan
Generasi Z, di banyak analisis menurut para ahli, memiliki sifat dan karakteristik yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi ini dilabeli sebagai generasi yang minim batasan (boundary-less generation). Karakter Gen Z lebih beragam, bersifat global, serta memberikan pengaruh pada budaya dan sikap masyarakat kebanyakan. Satu hal yang menonjol, Gen Z mampu memanfaatkan perubahan teknologi dalam berbagai sendi kehidupan mereka. Teknologi mereka gunakan sama alaminya layaknya mereka bernafas. Dengan karakter ini, tentu menjadi tantangan tersendiri dalam membangun kerukunan beragama bagi generasi Z ini. Mereka dengan teknologi yang dikuasai bisa cepat memberi pengaruh baik, tetapi juga memberi pengaruh buruk yang sangat cepat, intoleran yang mengarah kepada kekerasan sebagaimana sering terjadi akhir-akhir ini.
Berdasarkan sensus penduduk 2020, Indonesia tercatat sebagai negara dengan proporsi Generasi Z terbanyak. Generasi yang terlahir pada 1996-2009 itu memiliki persentase 27,94 persen dari jumlah penduduk. Generasi Z atau angkatan yang lahir pada periode pasca-1995 dipandang bagian dari digital native. Akrab dengan hal-hal kekinian yang serba instan sehingga dinilai jauh dari ide-ide yang mengakar dalam pikiran, apalagi sampai diwujudkan dalam perbuatan. Namun, RMN (24), pelaku bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan, 13 November 2019 lalu, mematahkan pandangan itu. Kasus bom bunuh diri ini menunjukkan bahwa generasi Z sangat berpotensi terpapar pemahaman keagamaan yang ekstrem, terlebih dalam komunitas keagamaan saat ini dalam platform digital yang dianggap dapat mengembangkan budaya eksklusif. Eksklusivisme beragama yang merupakan pandangan keagamaan yang menyatakan bahwa hanya satu agama saja yang memiliki jalan keselamatan yang benar, sementara agama lain salah dan wajib untuk “ditindak” menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya intoleransi beragama, Intoleransi merupakan salah satu bentuk konflik dan diskriminasi umat beragama yang hingga kini termanifestasi dalam bentuk-bentuk pelarangan, penyerangan, sampai pemaksaan terhadap umat agama minoritas. Faktor yang memberikan pengaruh terhadap intoleransi adalah eksklusivisme beragama.
Secara global, media sosial dimanfaat oleh kelompok radikal untuk menyebarkan konten berbau propaganda ideologi ekstrimis dan radikal. Media sosial digunakan karena dianggap lebih popular di kalangan generasi mudah pengguna internet atau yang disebut generasi z. Generasi ini yang merupakan target mereka, karena generasi ini merupakan pengguna internet aktif. Sejak lahir generasi z telah beresentuhan dengan media sosial dan tidak pernah merasakan kondisi sebelum adanya internet (Hui, 2010; Mowery & Simcoe, 2002; Wijoyo et al., 2020). Terkait persoalan di atas, maka pada kontek generasi z dalam memahami toleransi beragama merupakah hal krusial yang perlu mendapat perhatian saat ini, mengingat dampak globalisasi yang ada dapat berdampak pada sikap intoleransi antar umat beragama (Nugraha & Firmansyah, 2019).
Dalam era digital yang makin berkembang pesat, fenomena intoleransi sosial kian menonjol, terutama di kalangan Generasi Z. Generasi ini tumbuh di tengah kemajuan teknologi dan akses informasi yang luas, menghadapi tantangan baru dalam mempraktikkan nilai-nilai etika dalam interaksi sosial mereka. dalam era digital yang makin maju perhatian Gen Z terhadap nilai moral dan etika mengalami krisis sehingga risikonya berdampak ke sekitar. “Fenomena ini sangat memprihatinkan, dan skalanya sudah hampir memasuki zona merah jika tidak segera ditangani dengan memberikan edukasi, dan literasi digital yang baik. Mereka cenderung tidak dapat menghargai orang lain dan minim empati terhadap sesama, baik itu seagama, sesuku, dan sekelompok”. Tingginya eksposur terhadap media sosial, platform daring, dan konten digital telah menciptakan lingkungan di mana kesopanan, empati, dan penghargaan terhadap perbedaan sering kali diabaikan. Perilaku intoleran menjadi makin umum di ranah digital, mengakibatkan dampak yang merugikan bagi individu dan masyarakat pada umumnya.
Untuk mengatasi persoalan dan dinamika diatas maka pentingnya perubahan media dalam pendidikan seputar akidah dan keyakinan menjadi pondasi utama untuk melatih Gen Z pada perkembangan zaman yang makin modern ini. “Peran dakwah virtual juga merupakan suatu hal baik yang dilakukan sebagai salah satu upaya memberikan edukasi agama yang baik bagi Gen Z. Tidak lagi berdakwah dengan cara lama. Namun, dengan memanfaatkan media digital untuk mengemas dakwah virtual yang lebih modern dan dapat diterima oleh semua kalangan terutama Gen Z,” penting untuk menyosialisasikan bagaimana pendidikan agama yang inklusif bagi Gen Z, meningkatkan literasi digital untuk memfilter informasi yang tidak akurat, serta mendorong penggunaan media sosial yang bertanggung jawab dan empatik. Suntikan positif selalu berpegangan erat dalam dunia digitalisasi, ini menjadi sorotan bagi Gen Z agar bertanggung jawab dalam penyebaran dan juga tontonan dalam sosial media.
Sudah saatnya semua bergerak, semua sadar dan semua meneriakkan keresahan ini sebagai sebuah ancaman disintegritasi. Pencegahan sikap intoleransi dan radikalisme ini harus dikerjakan bersama oleh kementerian agama, kementerian pendidikan, sekolah, orang tua, masyarakat, dan organisasi Islam. Semuanya harus bekerja secara integral dalam menghadapi permasalahan yang cukup serius ini. Jika tidak, maka generasi mendatang kita akan menjadi generasi yang intoleran, bahkan radikal. Dan ini sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam yang sebenarnya, yakni damai bagi semesta. Untuk itu perlu segera agar Generasi Z, sebagai generasi pemangku masa depan, idealnya dibekali pendidikan yang membimbing mereka menjauhi diskriminasi. Pengajaran pendidikan agama Islam, semestinya juga “memperkuat civic values (kebebasan, persamaan, keadilan, toleransi dan persatuan) bedasarkan Pancasila dan UDD 1995”. Generasi Z merupakan generasi yang lahir dan hidup di zaman teknologi dan sudah bersentuhan dengan teknologi sejak dini. Mereka cepat sekali beradaptasi dengan berbagai perkembangan teknologi sehingga kemampuan IPTEK-nya dapat diandalkan, karena itu mereka memiliki peran penting sebagai agen moderasi beragama. Mereka dapat mensosialisasikan muatan moderasi beragama di kalangan masyarakat agar tercipta kehidupan yang harmonis, damai dan rukun.
Sumber Referensi :
Mowery, D. C., & Simcoe, T. (2002). Is the Internet a US invention? – An economic and technological history of computer networking. Research Policy, 31(8–9), 1369–1387. https://doi.org/10.1016/S0048-7333(02)00069-0
Nugraha, Y., & Firmansyah, Y. (2019). Karakter Toleransi Beragama dalam Sudut Pandang Generasi Milenial. Jurnal Moral Kemasyarakatan, 4(2), 69–76. https://doi.org/10.21067/jmk.v4i2.3856