Spiritualitas Air

Oleh:  Arcadius Benawa

Bapak Ignatius Kardinal Suharyo sebagai Uskup Militer dalam homili atau kotbahnya kepada para anggota TNI muda yang beragama Katolik  pernah berpesan agar sebagai anggota TNI muda yang beragama Katolik memiliki semangat setia dan siap sedia mendengarkan sabda dan melaksanakannya. Untuk menegaskan pesannya tersebut Bapak Kardinal menggunakan cerita tentang air.

Pada suatu hari Tuhan memanggil ciptaan-Nya yang bernama air.Tuhan bertanya kepada air ciptaan-Nya itu. “Apakah kamu mau saya beri tugas perutusan, Air?” Air pun menjawab, ”Perutusan apa, Tuhan?” Jawab Tuhan, “Perutusan yang mulia, tetapi tidak mudah.” “Apa itu Tuhan?” tanya Air penasaran. Tuhan bersabda, “Kalau kamu rela, Saya akan mengutus kamu untuk menyuburkan tanah gersang di seberang padang gurun itu.” Setelah berpikir sebentar, Air pun menjawab, “Saya siap melaksanakan, Tuhan!” Maka ditetapkanlah tugas perutusan itu kepada Air dan Air mendengarkan perutusan Tuhan dan Air pun melaksanakan tugas perutusan itu.

Air yang semula hanya setitik demi setitik itu mulai menjadi banyak dan menjadi arus yang cukup besar. Mulailah air itu mengalir menuju tanah gersang tersebut.  Namun, belum lama mengalir  Air itu sampai ke mulut jurang. Jurangnya amat dalam. Maka Air itu pun berhenti. Dia melihat ke bawah dan merasa takut untuk terjun ke dalam jurang yang demikian dalam. Pada waktu itu pun Tuhan berbisik lagi. “Air, kalau kamu takut ke terjun ke dalam jurang yang dalam itu bagaimana mungkin kamu akan dapat melaksanakan tugas perutusan yang Saya percayakan kepadamu? Berani saja. Majulah!” Maka Air pun memejamkan matanya. Ia terjun ke bawah. Waktu itu air masih punya mata. Namanya mata air. Waktu Air terjun ke bawah rasanya sakit, tetapi gembira, bahagia, karena dengan demikian Air akan dapat melanjutkan tugas perutusan yang telah dipercayakan Tuhan kepadanya.

Dalam proses selanjutnya Air ketemu gunung. Karena tidak bisa didaki, Air pun lewat pinggir. Air harus menempuh jarak yang jauh. Dalam perjalanan itu air ketemu batu karang. Tidak bisa dilewati begitu saja oleh Air, tetapi kemudian ditetes-tetesi sedikit demi sedikit akhirnya batu karang itu pun hancur. Hingga sampailah air di pinggir padang gurun yang kering dan panas. Air menghimpun diri dengan mau menjadi arus besar, gelombang besar, tetapi gagal, meskipun Air sudah ancang-ancang demi bisa menerjang padang gurun itu, tetapi lagi-lagi tidak berhasil. Dalam waktu dekat dan cepat air itu terserap oleh padang pasir yang kering dan panas itu. Air mencoba menghimpun diri lagi untuk menerjang padang gurun lagi, tetapi lagi-lagi juga gagal. Maka air pun hampir putus asa. Air pun berhenti dan tidak tahu lagi apa yang mesti ia lakukan.

Pada saat seperti itu datanglah sang Matahari dan berbisik pada Air. “Air, temanku, apakah kamu mau saya bantu?” “Bagaimana kamu bisa membantu saya?” selidik air. Matahari pun berkata, “Begini. Kalau kamu rela kehilangan jatidirimu saya dapat membantu kamu bersama dengan teman-teman saya yang lain.”  “Siap!” kata Air. Maka mataharipun memanasi Air dengan panas yang sepanas-panasnya. Air pun kehilangan jatidirinya. Air tidak kelihatan sebagai air lagi, tetapi menjadi uap. Uap itupun naik ke udara. Pada waktu itu Matahari memanggil temannya yang bernama Angin. Maka Angin itu membawa uap itu ke seberang padang gurun. Dan di sana matahari memanaskan diri lagi, hingga akhirnya awan itu berubah lagi menjadi Air dan Air pun turun sebagai Hujan ke seberang padang gurun yang tandus dan gersang itu hingga menjadi lahan yang cukup air dan subur.

Kiranya dengan menyimak dongeng tentang tugas perutusan Air tersebut, kita dapat mengambil hikmat dari spiritualitas Air. Pertama, bahwa kesiap-sediaan untuk menerima tugas perutusan yang berat namun mulia sesuai panggilan hidup kita masing-masing itu kita tak cukup hanya berkata: Saya siap. Saya bersedia. Kesiap sediaan harus diwujudkan dengan keberanian menghadapi dan meretas kesulitan dan tantangan dalam mengemban tugas perutusan.

Kedua, kadang kita harus rela turun, merendahkan diri sedemikian rupa, sehingga ibaratnya kita harus berani terjun bebas dengan memejamkan mata demi proses yang harus kita lewati dan tidak mudah itu.  Ketiga, bahkan kadang kita harus berani mengosongkan diri dengan seolah kehilangan jatidiri kita dalam menerima uluran tangan dan kerja sama dengan pihak-pihak lain yang ternyata useful dan powerful kalau kita mau kehilangan jatidiri kita meski tidak enak sekalipun. Keempat tak cukup hanya berani kehilangan jatidiri, kita juga harus berani bermetamorfosa ketika harus ada rolling peran ataupun tugas sementara demi menuju tugas perutusan yang paripurna. Semoga spiritualitas air menginspirasi kita ketika kita menghadapi kesulitan dan tantangan yang tak kecil dan tak mudah, karena taruhannya adalah kerelaan kita untuk berani merendahkan diri, berani seolah kehilangan jatidiri kita, dalam kerjasama dan kesediaan menerima bantuan orang atau pihak lain. Semoga.

Arcadius Benawa