Seri Khazanah Budaya Nusantara: Kopi dan Masyarakat Aceh

Oleh: Rina Patriana Chairiyani

Kopi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan Masyarakat Aceh. Bahkan, budaya minum kopi telah berkembang turun menurun seiring perkembangan Aceh sebagai salah satu daerah produsen kopi kelas dunia. Baik muda maupun tua, pria maupun wanita, miskin maupun kaya akan berbaur tanpa sekat  untuk bersantai bersama menikmati kopi di kedai kopi. Oleh karenanya, kita dengan mudahnya dapat menemukan kedai kopi di berbagai pelosok Serambi Mekkah ini (Indonesiakaya.com, 2022).

Budaya minum kopi telah menjadi gaya hidup di Aceh. Budaya ngopi atau Jeep Kupie di Aceh sendiri sudah mengakar dikalangan masyarakat, tidak heran saat ini muncul julukan “Negereri 1000 Kedai Kopi” untuk Aceh. Hampir semua permasalahan yang ada di kalangan masyarakat diselesaikan di warung kopi, seperti musayawarah, menghabiskan waktu weekend, memutuskan suatu masalah, transaksi keuangan dan lainnya (sigupainews, 2022). Masyarakat Aceh juga terkenal betah untuk berbincang hingga berjam-jam lamanya di warung kopi. Hal inilah yang membuat setiap masyarakat daerah Aceh menjadi sangat akrab satu dengan yang lainnya (santinocoffee.co.id, 2024).

Budaya minum kopi di kedai kopi pada masyarakat telah melahirkan sebuah kearifan lokal bagi masyarakat Aceh dalam bersosialisasi dan berinteraksi. Selain kedai kopi, mushalla (meunasah) menjadi dua pranata sosial dalam masyarakat Aceh yang sulit dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi bagian dari identitas masyarakat Aceh itu sendiri. Keberadaan kedua pranata sosial ini menyebar di seluruh pelosok Aceh dan memiliki kesamaan fungsi untuk kegiatan sosialisasi dan interaksi di antara anggota masyarakat. Jika kehadiran meunasah ditengarai hadir saat penyebaran Islam, maka kedai kopi sulit ditelusuri sejarahnya. Namun kedai kopi diperkirakan sudah ada sejak masa penjajahan Belanda, yang memungkinkan masyarakat leluasa bersosialisasi dan berkumpul. Dulunya warung kopi yang kebanyakan didirikan di samping mesjid merupakan tempat yang melahirkan sistem kultural yang partisipatorik dan iklim positif dalam kehidupan masyarakat Aceh. Dari tempat ini akhirnya turut serta menanam saham peradaban Islam di Aceh yang tersohor hingga ke seluruh penjuru dunia. Bila azan berkumandang, maka bergegaslah mereka berbondong-bondong ke mesjid,mereka pun meninggalkan warung kopi menuju tempat pengajian untuk belajar ilmu-ilmu agama dan pengetahuan umum lainnya. Selain itu, bila ada permasalahan maka akan didiskusikan di warung-warung kopi dengan segala etika untuk kemudian akan dibawa ke mesjid jika dirasa didapatnya jalan buntu untuk menyelesaikannya (khairani, 2014).

Referensi

Indonesiakaya.com. 2022. Tradisi Minum Kopi yang Menjadi Gaya Hidup di Aceh. https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/tradisi-minum-kopi-yang-menjadi-gaya-hidup-di-aceh/

Sigupainews. 2022. Satu Abad Eksistensi Kopi. https://sigupainews.com/satu-abad-eksistensi-kopi-aceh/

Santinocoffee.co.id. 2024. Bi Kupi Pancong Saboh, Budaya Minum Kopi Khas Aceh Yang Sangat Unik.https://santinocoffee.co.id/bi-kupi-pancong-saboh-budaya-minum-kopi-khas-aceh-yang-sangat-unik/

Khairani. 2014. Pendorong Interaksi Sosial Masyarakat. https://media.neliti.com/media/publications/146558-ID-pendorong-interaksi-sosial-masyarakat-ac.pdf

Rina Patriana Chairiyani