Mewaspadai Fanatisme Agama
Oleh: Dr. Sukron Ma’mun, S.Ag., M.A
Fanatisme merupakan suatu pandangan dan keyakinan tentang sesuatu yang tidak memiliki landasan teori atau pijakan yang kuat, tetapi dianut secara mendalam oleh seseorang atau sekelompok orang. Pandangan dan keyakinan yang sulit diluruskan atau diubah jika sudah tertanam pada diri seseorang, meskipun dengan argumentasi-argumentasi yang rasional. Secara psikologis, orang yang fanatik umumnya tidak dapat memahami apa-apa yang terdapat di luar dirinya, seperti permasalahan yang dihadapi orang atau kelompok lain, tidak memahami pemikiran atau filsafat selain yang mereka yakini. Tanda-tanda nyata dari sikap fanatik adalah ketidak mampuan seseorang memahami ciri-ciri individual orang lain yang berada diluar kelompoknya, benar atau salah.
Dengan demikian, fanatisme beragama mengandung pengertian sebuah keyakinan yang terlalu kuat terhadap doktrin agama/kepercayaan dan berusaha mempertahankannya dengan cara-cara ekstrim, penuh hasrat sampai melebihi batas kewajaran. Dengan kata lain, fanatisme beragama adalah keadaan ketika seseorang atau kelompok yang menganut sebuah agama atau kepercayaan dengan cara yang berlebihan atau tidak sewajarnya sehingga cenderung menimbulkan perseteruan hingga konflik serius. Sikap beragama seperti ini dalam Bahasa Arab disebut dengan ghulluw (melampaui batas) tasyaddud (keras) atau tatharruf (menyimpang), sikap-sikap beragama yang harus dihindari bagi para penganut agama.
Fanatisme agama merupakan penghambat bagi pengembangan toleransi beragama, bahkan sebaliknya dapat menumbuhkan sikap beragama yang intoleran sehingga kerukunan umat beragama sulit dicapai. Fanatisme agama akan mengantarkan seseorang pada sikap ekslusifisme. Sikap ekslusifisme dengan sendirinya akan membentuk polarisasi yang diistilahkan dalam psikologi sebagai polarisasi ingroup-outgroup. Ingroup menunjuk pada kelompok tempat dimana pelaku menjadi anggotanya, sedangkan outgroup menunjuk pada kelompok di luar (pelaku). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa seseorang yang berada pada suatu kelompok akan cenderung memiliki pandangan positif terhadap kelompoknya sendiri (ingroup) dan sebaliknya memiliki pandangan negatif terhadap kelompok di luar kelompoknya sendiri (outgroup). Pada saat polarisasi ingroup dan outgroup menjadi semakin melebar sehingga setiap kelompok mengklaim dirinya sebagai pihak yang “benar” dan mengklaim kelompok lawannya sebagai “salah”, bahkan dianggap sebagai “musuh” atau “setan” maka terbentuklah apa yang diistilahkan dengan istilah “radikalisme”.