Keadilan dan Kesejahteraan (Bagian 5)

Oleh: Dr. Catarina Manurung, S.H., M.M.

Pasal  28 D ayat (3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Dari pasal ini jelaslah terlihat bahwa Konstitusi kita menjamin bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pasal 28 D ayat (3) memiliki kemiripan dengan Pasal 27 ayat (1). Supaya tidak membingungkan, simak terlebih dahulu bunyi pasal 27 ayat (1) sebagai berikut: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Menurut Jurnal Tinjauan Yuridis tentang Hak Asasi Manusia (HAM), berdasarkan pasal 28 D Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 tulisan Wari Martha Kambu, dkk., Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, memiliki hak yang sama dalam pemerintahan.

Hak yang sama dalam pasal tersebut merujuk pada partisipasi masyarakat terhadap pemerintahan. Hak untuk berpartisipasi di sini dapat dilihat dari UUD 1945 Pasal 43 ayat (1), berikut penjelasannya:

  1. Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang berlangsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan dengan langsung dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
  3. Hak untuk setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia harus didasari prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum. Segala bentuk keputusan atau tindakan administrasi pemerintahan harus berdasarkan kedaulatan rakyat serta hukum yang menjadi refleksi Pancasila.

Makna persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan. Dalam bahasa Indonesia dijumpai beberapa ungkapan mengenai tema tulisan ini. Ada yang menggunakan sebutan “persamaan di depan hukum”, “persamaan di hadapan hukum”, atau “persamaan di dalam hukum”. UUD 1945 menggunakan ungkapan “persamaan kedudukannya di dalam hukum” (Pasal 27) dan “perlakuan yang sama di hadapan hukum” (Pasal 28 D). Konstitusi RIS dan UUDS 1950 menggunakan ungkapan: “perlakuan dan perlindungan yang sama oleh undang-undang”. Pemakaian istilah “undang-undang” dalam KRIS dan UUD 1950 kurang tepat yang hanya mencakup sebagian dari arti “hukum”.

Setiap orang berhak atas perlindungan yang sama di hadapan hukum, bukan hanya di hadapan undang-undang. Perbedaan ungkapan itu bermaksud sama yaitu sebagai padanan equality before the law. Ungkapan yang berasal dari Dicey dan lazim dipergunakan di lnggris dan negara-negara di bawah pengaruh Inggris. Dalam ungkapan yang Iebih panjang, Dicey menyebutkan “the equal subjection of all classes to the ordinary law of land administrated by the ordinary courts” (semua orang atau semua kelompok tunduk pada hukum yang sama yang dijalankan oleh pengadilan biasa).  Sebutan inilah yang biasa dipergunakan dalam berbagai UUD di dunia. Selain itu ada pula sebutan equal protection of the law yang didapati dalam Amandemen ke-14 UUD Amerika Serikat.  Menurut Pandey, walaupun ungkapan tersebut mempunyai maksud yang sama, tetapi memiliki penekanan yang berbeda. Ungkapan equality before the law berkonotasi negatif yaitu meniadakan semua privilege untuk orang-orang tertentu. Equal protection of the law lebih bersifat positif yaitu menekankan persamaan perlakuan bagi (untuk) keadaan yang sama.

Persoalan persamaan di hadapan hukum baik secara tersurat atau tersirat selalu  dikaitkan dengan, Pertama; sebagai salah satu unsur asas negara hukum, demokrasi, dan hak asasi. Dicey mengutarakan ada tiga ciri negara hukum, yaitu supremasi hukum (sebagai lawan kekuasaan sewenang-wenang), persamaan di hadapan hukum dan konstitusi bukan sumber hak tetapi konsekuensi dari hak-hak individu. Demokrasi berdiri sekurang-kurangnya atas dasar kebebasan (liberty) dan persamaan. Revolusi Perancis (kemudian dicantumkan dalam UUD) menambah asas persaudaraan, sehingga menjadi liberté, egalité dan fraternité. Dalam perkembangan, persamaan di hadapan hukum diakui sebagai hak asasi manusia. Tuntutan-tuntutan rules of law, demokrasi dan hak asasi hanya dapat dipenuhii kalau ada persamaan di hadapan hukum.

Kedua; sebagai reaksi atau perlawanan terhadap sistem kekuasaan yang menindas atau sewenang-wenang atas dasar (mengkedepankan) perbedaan-perbedaan, seperti perbedaan status sosial, perbedaan keyakinan, perbedaan keturunan, perbedaan kekayaan dan lain-lain. Dalam bentuk yang ekstrim, persamaan di hadapan hukum miniadakan segala bentuk privilege atas dasar kedudukan atau suatu latar belakang. Karena pada dasarnya tuntutan persamaan di hadapan hukum merupakan bagian dari tuntutan terhadap hubungan antara yang berkuasa (the ruling) dengan rakyat (the ruled), maka tidak mungkin memisahkan antara persamaan di hadapan hukum dan persamaan di hadapan pemerintahan. Persamaan di hadapan pemerintahan berintikan antara Iain persamaan perlakuan hukum, persamaan kesempatan (ikut serta dalam pemerintahan) dan lain-lain persamaan.

Teori-teori atau konsep-konsep di balik konsep persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan.  Ada berbagai teori atau konsep yang mendasari konsep persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan, antara lain: (a) teori atau konsep negara hukum; (b) teori atau konsep demokrasi; (c) teori atau konsep negara konstitusi; (d) teori atau konsep hak asasi manusia.

Dr. Catarina Manurung, S.H., M.M.