Judi: Persoalan Akut dari Masa ke Masa
Oleh: Sitti Aaisyah
Pemerintah telah membentuk Satgas Pemberantasan Judi Online pada 14 Juni 2024 yang diketuai Menko Polhukam. Satgas dibagi menjadi dua bidang, pencegahan dan penindakan hukum. Menteri Komunikasi dan Informasi sebagai ketua harian bidang pencegahan dan Kapolri mengepalai bidang penegakan hukum. Sedikit pesimis dengan manajerial Presiden yang harus membentuk satgas dalam merespon suatu kondisi, padahal dapat dilakukan dengan memaksimalkan tupoksi institusi yang terkait. Selain isu tumpang tindih tugas, gemuknya tubuh organisasi, juga isu yang penting lainnya yang kita harus berempati lebih, yaitu pembengkakan anggaran negara. Sayangnya, mereka yang berada di institusi terkait yang justru menjadi pelaku utama dari tindak kriminal, seperti Ferdy Sambo dan Tedy Minahasa. Salah satu respon untuk meredakan amarah publik adalah dengan membentuk satgas sebagai aksi reaktif. Efektif kah?
Temuan satgas ini menyatakan bahwa pelaku judi online dari berbagai kalangan, mulai dari polisi, tantara, wartawan, PNS, anggota dewan, dan rakyat umum lainnya. Perputaran uang dari judi online sangat fantastis, senilai Rp 1 triliun 41 miliar (Sumber: Tempo 28 Juni 2024). Penyedia program judi memasuki perkampungan dan pedesaan untuk jual beli rekening guna menampung uang hasil perjudian agar menyulitkan pelacakan. Apakah perjudian online ini sulit untuk diberantas? Ataukah jangan-jangan dilakukan pembiaran karena jumlah uang yang diputar sangat tinggi? Tapi, satu hal yang meresahkan, telah banyak rakyat yang terlilit pinjaman online dan bahkan bunuh diri karena terjebak dalam lingkaran setan perjudian online ini. Rakyat yang terjebak ini adalah sebagian besar dari golongan menengah ke bawah.
Sebuah website yang didirikan oleh Ohio for Responsible Gambling, www.pausebeforeyou play.org, melakukan kampanye terkait anti perjudian dengan misi pencegahan, pengurangan dampak judi serta pembangunan kesadaran agar terhindar dari candu judi. Pada laman tersebut digambarkan konsekuensi mereka yang bermain judi, mengalami depresi dua kali lebih tinggi, sifat ketergantungannya tiga kali lebih tinggi dari kecanduan alkohol/obat, menurut peneliti ada sekitar 80% tidak mencoba mencari bantuan untuk keluar kondisi tersebut, 32% berujung pada kasus bunuh diri.
Kasus judi ini tidak hanya meresahkan hari ini. Masalah judi di Indonesia terekam dalam suatu majalah lawas yang saya temukan di antara koleksi buku almarhum ayah saya, Sangkakala Peradilan Madjallah Hukum Untuk Umum, terbit di triwulan I No.1 tahun 1971. Artikel tersebut berjudul Ekses Perdjudian Bagi Pembinaan Bangsa oleh A. Soedjadi SH. Soedjadi mengulas masalah perjudian dari tinjauan yuridis dan tinjauan sosiologis.
Dalam tinjauan yuridis, menurut pasal 303 KUHP 1971 dikatakan, permainan judi adalah setiap permainan yang memberikan pengharapan untuk menang dengan bergantung pada keberuntungan saja dan memiliki unsur pertaruhan. Ini diartikan bahwa permainan judi adalah “hazardspel” yaitu antara lain bermain dadu, roulette, dll. Domino dan bridge tidak digolongkan dalam permainan judi, kecuali ada pertaruhan disana. Pada periode tersebut, undian sekalipun dikategorikan sebagai judi sehingga pelaksana harus mendapat izin dari pemerintah terlebih dahulu. Pemerintah juga melakukan lokalisir perjudian dalam waktu tertentu untuk dukungan finansial. Soedjadi mempertanyakan kebijakan-kebijakan tersebut karena upaya pemberantasan perjudian seakan-akan setengah hati dan tanpa pertimbangan yang jelas, otoritas mana yang dapat memberikan izin dan atas dasar pertimbangan apa seseorang berhak main judi.
Pada era itu, perjudian dianggap penyakit masyarakat yang kronis dan sulit untuk diberantas karena telah mengakar dalam kehidupan social. Perbuatan sabung ayam bahkan bagian dari kebudayaan, lihat contohnya kebudayaan bugis dan makassar yang menjadikan sabung ayam sebagai permainan rakyat yang diperkuat oleh mitologi Sawerigading, raja pertama, yang sangat gemar bermain sabung ayam. Menurut Soedjadi, ada tiga tipikal orang bermain judi, yaitu berjudi karena hobbi, sekadar ikut-ikutan, dan karena kebingungan atau dalam himpitan ekonomi. Mereka yang berjudi karena hobbi adalah golongan orang kaya, yang berjudi demi kesenangan belaka. Kalah atau menang tidak menjadi persoalan, karena uang bukanlah masalah. Golongan ikut-ikutan adalah kaum menengah yang melihat hasil perjudian menggiurkan sehingga ikut bermain. Namun, golongan inilah yang paling bermasalah karena ketika kalah judi, segala hal dapat dilakukan agar terus bermain judi, seperti mencuri, korupsi, menipu, dll. Tipe ketiga adalah golongan orang miskin yang mempertaruhkan uang yang sedikit untuk bisa menang judi dengan keberuntungan. Karena bagi golongan ini, menang kalah tetap sama saja karena toh uangnya tetap tidak mencukupi kebutuhan hariannya.
Pada masa itu, Soedjadi mencatat bahaya judi yang menimpa masyarakat, antara lain terjadi kemelaratan, rusaknya hubungan dalam keluarga, dan hilangnya harapan hidup karena keputusasaan, dan kemalasan bekerja. Di media-media lokal memberitakan kasus-kasus percobaan bunuh diri karena terlibat judi. Salah satu contohnya:
Jika melihat penjelasan Sodjadi, persoalan judi yang merupakan persoalan serius bangsa terulang lagi di hari ini di tahun 2024. Perbedaannya hanya pada jenis dan media judinya, selebihnya tidak ada yang berbeda. Dampak kebangkrutan ekonomi, terlililit pinjaman utang online, hancurnya hubungan keluarga, kritisnya semangat bekerja karena bermimpi kaya secara instan, dan bunuh diri karena tidak lagi mampu terlepas dari lingkaran setan perjudian.
Tercatat oleh sejarah, perjudian adalah salah satu aktivitas tertua umat manusia, yaitu sejak periode Paleolitik 3000 SM. Judi adalah satu kegiatan yang paling banyak aturan atau bahkan dilarang dalam catatan sejarah. Aturan judi telah ada dalam hukum Cina kuno, Romawi, aturan agama Abrahamic, Buddha, dan Bahai. Di Mesir kuno hukuman bagi penjudi adalah kerja paksa di tambang. Bentuk-bentuk perjudian juga beragam. Menurut antorpolog, lebih lazim bagi masyarakat yang sistem kepercayaannya kepada dewa-dewa dan roh dalam upaya mencari kebaikan para dewa. Aktivitas sabung binatang lumrah dilakukan. Salah satu contohnya miotlogi I La Galigo yang menggambarkan Sawerigading sebagai raja yang suka sabung ayam.
Di zaman kuno, melemparkan undian atau dadu tidak dianggap sebagai perjudian, tetapi dikatikan dengan takdir yang tidak bisa terhindarkan, seperti untuk memutuskan suatu perkara atau pelaku kejahatan. Pada abad ke-15 perjudian kemudian diorganisir dengan bentuk lotere dan berkembang seterusnya dengan menggunakan peralatan pengacakan. Darinya berkembang teori probabilitas. Selanjutnya di era modern dimana perjudian memasuki ajang-ajang olahraga yang menyebabkan orang-orang menganggap perjudian adalah suatu aktivitas yang menghibur belaka. Berlanjut hingga hari ini dimana permainan menjadi lebih massif di teknologi dijital dan menjangkau lebih banyak user sampai ke tingkat usia dini/anak-anak.
Jika pemerintah tidak melakukan kajian dan tindakan serius dalam menanggulangi perjudian online, maka akan terjadi bencana social. Sejak era kuno sampai modern, otoritas telah melakukan pelarangan judi karena dampaknya yang sangat berbahaya, khususnya merusak mental manusia dan berujung pada hancurnya tatanan social. Kita berharap banyak kepada Satgas Judi Online yang terbentuk, jangan sampai bekerja hanya “panas-panas tahi ayam”, karena berita yang viral semata. Ada banyak ancaman serius menanti di masa depan dan kita harus mengantisipasi dan menghindari ancaman tersebut.