Faktor-Faktor Pemicu Fanatisme Agama

Oleh: Dr. Sukron Ma’mun, S.Ag., M.A

Ada beberapa faktor yang memicu seseorang atau kelompok masyarakat menjadi fanatik terhadap agama yang dianutnya, antara lain:.

a. . Terjebak pada Simbol-simbol keagamaan yang bersifat manipulasi.

Bagi pemeluk agama, simbol atau lambang dalam suatu agama diklaim sebagai unsur yang bersifat suci, sakral, istimewa dan unik. Simbol umumnya berkaitan dengan filosofi atau cara pandang para pemeluk agama terhadap Tuhan yang mereka sembah dalam agama mereka. Simbol juga dapat menjadi sarana yang mendukung praktek ibadah atau ritus pemeluk agama yang bersangkutan. Namun, satu kesalahan bagi penganut agama adalah ketika mereka lebih memperhatikan dan mementingkan simbol-simbol agama secara fisiknya tanpa memahami makna atau pesan-pesan yang terkandung dalam simbol-simbol tersebut. Tidak jarang sikap fanatik terhadap simbol-simbol agama memicu kekerasan dan konflik.

b. Memahami teks agama secara parsial.

Pemahaman yang tidak utuh terhadap sesuatu akan menyebabkan munculnya kesalahpahaman. Begitu pula dalan hal memahami teks kitab suci, pemahaman yang sepenggal-sepenggal akan berpengaruh pada munculnya pemahaman yang jauh dari maksud teks itu sendiri.

c. Terpengaruh pada doktrin klaim kebenaran dan klaim keselamatan

Pada agama-agama terdapat klaim-klaim ekslusif. Bahkan ekslusifisme agama dalam segi-segi tertentu bisa sangat ketat. Memang ekslusifisme tidak bisa dilepaskan dari masalah keyakinan yang bersifat subyektif dan emosional. Namun demikian, seharusnya keyakinan tersebut harus diletakkan dalam sisi obyektifitas pula. Secara subyektifitas seorang pemeluk agama akan memiliki sebuah keyakinan bahwa agama yang dipeluknya adalah sebagai satu-satunya agama yang benar, dan akan mengatakan bahwa semua agama yang berbeda dan bertentangan dengan agamanya adalah ajaran yang salah. Namun pada sisi obyektif, orang tersebut harus memberi hak kepada pemeluk agama lain untuk berkeyakinan dan mengatakan hal yang serupa. Sering kali terjadi masalah jika masing-masing umat beragama hanya mengutamakan sisi subyektifitasnya dan mengabaikan obyektifitasnya, bahkan berupaya memaksakan kemutlakan subyektifnya kepada orang lain.

d. Pengaruh tokoh agama yang tidak humanis dan toleran.

Para tokoh/pimpinan agama memiliki potensi sebagai mesin penggerak aksi-aksi keagamaan. Ketika tokoh/pimpinan keagamaan memiliki otoritas dalam struktur sosial kultural masyarakat maka akan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Doktrin dan fatwa-fatwa yang tidak humanis dari para tokoh/pimpinan agama berpengaruh besar terhadap sikap fanatik para pemeluk agama. Tidak jarang aksi-aksi yang dilakukan kelompok-kelompok ekstrim yang merugikan keberlangsungan hidup masyarakat di sekelilingnya dipicu oleh dktrin atau fatwa-fatwa dari tokoh agama yang tidak humanis tersebut. Kelompok-kelompok ekstrim ini sangat yakin dan percaya bahwa tindakan kekerasan yang mereka lakukan mendapatkan legitimasi dari lembaga agamanya dan pasti akan mendapatkan pahala/keutamaan.

e. Politik identitas keagamaan.

Dalam konteks Indonesia tidak bisa dipungkiri bahwa politik identitas merupakan instrumen yang turut andil pada terbentuknya fanatisme dan polarisasi terhadap isu-isu keagamaan. Salah satu ciri dari Abrahamic Religion seperti Islam memang tidak bersifat individual, tetapi bersifat komunal (collective). Oleh karena itu, di Indonesia, dimana mayoritas berpenduduk Muslim, Islam tidak hanya dipandang sebagai agama tetapi juga sebagai komunitas (ummat) yang mempunyai pemahaman, kepentingan, dan tujuan-tujuan politik sendiri. Sebagai kolektivitas, Islam juga merupakan kesadaran, struktur, dan mampu melakukan aksi bersama.

f. Adanya paham sektarian.

Kekerasan dan konflik agama tidak hanya terjadi antara pemeluk agama yang berbeda, akan tetapi juga sering terjadi antara pemeluk agama yang sama, disebabkan perbedaan paham atau aliran. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan pemahaman dan sudut pandang dalam melihat satu persoalan juga terjadi pada satu agama. Namun permasalahannya sesungguhnya bukanlah pada banyaknya pemahaman dan pemikiran akan tetapi pada sikap fanatik terhadap mazhab/alirannya, semangat membela, meninggikan pandangan mazhab/aliran sendiri dan merendahkan pandangan mazhab/aliran lainnya.

Dr. Sukron Ma'mun, S.Ag., M.A