Antara Beradab Dan Berilmu
Oleh: Sitti Aaisyah
Setiap orang beradab pasti memiliki ilmu, namun setiap orang berilmu tidak mesti memiliki adab yang baik. Adab inilah yang membedakan kualitas seseorang, apakah ilmu semata-mata digunakan sebagai aksesoris, ataukah ilmu menjadi alat, menyatu dalam cara berpikir, bertutur, dan bersikap seseorang. Ibarat sistem pencari Google atau Wikipedia hari ini yang menyediakan berbagai informasi, secerdas dan sekomplit apapun informasi itu, Google dan Wikipedia hanyalah mesin atau sistem yang tidak memiliki jiwa. Seseorang yang mengumpulkan berbagai informasi dan ilmu dan sekedar menghafalkannya tanpa adanya pelibatan kemampuan kontemplatif, maka seseorang tersebut semata-mata memiliki pengetahuan yang ensiklopedik. Berpikir kontemplatiflah yang menjadikan jiwa manusia dapat bertumbuh dan tersinari cahaya pengetahuan. Dengan kata lain, adab menjadi pembeda bagi mereka yang teredukasi dan yang teredukasi-tercerahkan.
Di era hiperrealitas, ketika informasi diproduksi secara massal, manusia modern dikepung oleh berbagai informasi yang menyebabkan manusia kehilangan kemampuan untuk mengenali manakah realitas sesungguhnya dan realitas rekayasa. Di dalam pertarungan untuk bertahan hidup, manusia modern banyak melakukan tipu daya dengan manipulasi realitas. Manusia modern yang tidak berdaya dengan kepungan informasi pun lalu terjebak dalam diskursus yang remeh-temeh dibanding sesuatu yang substantif. Terlebih dengan budaya hari ini ketika Tiktok, Google, dan Instagram memiliki program short, membagikan informasi hanya dalam waktu singkat (20 detik), manusia modern dipaksa menerima informasi secara instan. Kemampuan analisa dan kontemplatif semakin meredup, dan akhirnya semakin banyak manusia-manusia Google yang terbentuk, yaitu teredukasi namun tidak tercerahkan.
Jika kemampuan menalar dan berkontemplasi semakin meredup, maka manusia menuju ambang kejatuhannya. Tuna adab lebih mengerikan dari pada tuna ilmu. Manusia pada zaman dahulu penuh dengan pengetahuan kontemplatif. Mereka mendekati semestanya dengan mengoptimalkan akal budi. Meski keterbatasan pada kemampuan menalar kerja alam, namun manusia zaman dahulu memperlakukan semesta dengan hormat, tidak arogan, karena meyakini bahwa keberlangsungan hidupnya tergantung pada kerja seimbang alam. Hari ini, ketika ilmu pengetahuan berhasil mengungkap rahasia kerja semesta, namun karena defisit adab akhirnya manusia modern bersikap arogan dan melakukan tindakan-tindakan destruktif. Inilah pentingnya beradab daripada semata-mata berilmu.