To Be A Good  Receiver

Oleh: Arcadius Benawa

Dalam sebuah dinamika kelompok sebagai ice breaking sebelum sesi pelatihan dimulai sepuluh peserta diajak untuk maju dan diberi tugas untuk menyampaikan informasi atau berita secara berantai kepada peserta lainnya. Dengan cara membisikkan ke telinga peserta berikutnya, peserta pertama diberi sebuah informasi tertulis. Biasanya akan terjadi pergeseran pesan. Bisa sejak peserta kedua kepada peserta ketiga atau peserta berikutnya. Intinya, informasi awal akan sampai kepada peserta terakhir sudah mengalami perubahan yang tak mustahil jauh berbeda dari informasi awal yang disampaikan pada peserta pertama secara tertulis.

Dari permainan itu kita dapat belajar betapa tidak mudahnya menangkap pesan dan menyampaikan pesan secara utuh kendati yang sederhana sekalipun. Apakah karena fakta itu, sehingga Yesus merasa perlu mewanti-wanti murid-murid-Nya agar menjadi penerima pesan yang baik (to be a good receiver), agar tidak mudah salah paham atau salah tafsir. Kita tahu bahwa dalam Injil Matius maupun Injil Markus sering kita dengar kecaman Yesus pada para ahli Taurat dan kaum Parisi. Banyaknya kritikan Yesus pada para ahli Taurat dan kaum Parisi itu bisa saja menimbulkan antipati para murid Yesus pada mereka. Nah sikap antipati semacam itu rupanya tidak dikehendaki oleh Yesus. Maka Ia mengatakan: “Taatilah ajaran dan perintah mereka. Sebab mereka itu lah yang menduduki tahta Musa. Mereka memiliki legitimasi!” Namun jangan turuti kelakuan mereka.

Jadi, untuk menjadi a good receiver rupanya harus bisa membedakan/ melakukan discretio antara orang dalam kapasitas formal dengan orang dalam realitasnya. Selain itu juga jangan main pukul rata, sebaliknya lebih bersikap positive thinking-lah. Para murid-Nya  tetap diminta oleh Yesus untuk positive thinking terhadap para ahli Taurat dan kaum Parisi, sebab bagaimanapun mereka itu adalah pewaris tahta Musa. Bagaimanapun mereka karena posisinya memegang bobot kebaikan ujaran ataupun ajaran. Dengan demikian para murid Yesus diminta untuk berani menerima yang baik itu baik dari manapun asal atau sumbernya. Ibarat seperti halnya intan itu tetaplah intan meski keluar dari mulut babi ataupun dari mulut anjing. Oleh karena itu, sebagai murid Yesus rupanya kita tidak boleh antipati terhadap orang. Kalau meminjam filosofi Konfusius tentang yin and yang, bukankah di dalam hitam pasti ada putihnya. Sebaliknya, di dalam yang putih pun tentu tetap ada hitamnya.

Gambar Yin and Yang | Sumber: Wikipedia

Arcadius Benawa