Pesta Demokrasi: Siapa Yang Merayakan?

Oleh: Ari Kusumadewi | PPTI 14 | 2602190356 |

Pesta demokrasi merupakan istilah yang kerap digunakan untuk menggambarkan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia. Berbagai media di Indonesia menggunakan istilah “Pesta Demokrasi” sebagai kata ganti “Pemilu”. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto. Di Februari 1981, Soeharto menyematkan istilah ini ketika berpidato di Pembukaan Rapat Gubernur/Bupati/Walikota se-Indonesia.

“Pemilu harus dirasakan sebagai pesta poranya demokrasi, sebagai penggunaan hak demokrasi yang bertanggung jawab dan sama sekali tidak berubah menjadi sesuatu yang menegangkan dan mencekam,” kata Soeharto mengenai Pemilu 1982 yang akan datang.

Namun, siapa yang sebenarnya bersukaria? Siapa yang merayakan?

Istilah pesta demokrasi muncul setelah pemerintahan Orde Baru berhasil memenangkan pemilihan umum 1971 dan 1977, mendominasi politik Indonesia. Pemilu 1982 selanjutnya dianggap sekadar “perayaan” untuk memeriahkan kembali kemenangan pemerintah yang berkuasa. Pesta demokrasi pada saat itu merupakan pesta yang disiapkan untuk “mensyukuri” kemenangan kembali para penguasa. Suatu kemenangan telak yang tidak lepas dari intervensi sang Presiden, yang saat itu memiliki kekuasaan penuh.

 Menurut antropolog N.G. Schulte Nordholt dalam penelitiannya mengenai Pemilu 1977, pemilu di era Orde Baru ialah ritual nasional yang didesain untuk mereproduksi legitimasi rezim tanpa menantang kekuasaannya.

John Pemberton (1986) juga menuliskan bahwa mungkin karena Pemilu dianggap upacara rutin (yang pemenangnya sudah ketahuan sejak awal), pemerintah Indonesia merasa perlu menjuluki Pemilu 1982 sebagai “Pesta Demokrasi”. Pemberton menyatakan istilah “pesta” dalam pesta demokrasi bukan merujuk pada perayaan melainkan suatu jamuan resmi yang berkaitan dengan upacara umum atau ritual domestik. Pemilu 1982 lebih tepat dibayangkan sebagai jamuan upacara pernikahan (hajatan), khususnya yang berlangsung dalam adat Jawa. Di mana dalam acara itu, para tamu duduk di kursi yang telah disediakan dan menyaksikan rangkaian acara yang sudah bisa ditebak. Usai pesta, para tamu akan kembali ke kehidupan masing-masing, minim dilibatkan dalam proses politik pemerintahan. Para tamu, rakyat Indonesia, tidak pernah benar-benar merayakan proses demokrasi.

Meskipun Indonesia selalu menerapkan Demokrasi Pancasila (prinsip demokrasi yang disusun sesuai dengan nilai-nilai Pancasila), pesta demokrasi tidak selalu mencerminkan esensi demokrasi yang sebenarnya. Berbagai tantangan pernah dilalui dalam pelaksanaan Demokrasi Pancasila di Indonesia, contohnya adalah Pemilu di era Orde Baru. Saat ini pun, Demokrasi Pancasila masih memliki dua tantangan utama, yaitu politik uang dan politik identitas.

Oleh karena itu, untuk membangun demokrasi yang sehat dan berkelanjutan, perlu adanya upaya bersama dari masyarakat, pemerintah, dan semua pihak terkait untuk meningkatkan pemahaman dan partisipasi dalam proses demokrasi. Pemahaman mendasar bahwa Pancasila perlu diimplementasikan dengan sungguh-sungguh. Agar esok hari, bersama-sama kita dapat merayakan suatu pesta demokrasi. Sebuah pesta yang harapannya tidak hanya muncul lima tahun sekali, sebuah pesta yang dapat kita semua rayakan untuk mensyukuri jalannya proses demokrasi.

REFERENSI

Dendy L Wansyah. (2023, 13 Desember). Pesta Demokrasi dari Masa ke Masa. Diakses pada tanggal 21 Januari 2024. https://omong-omong.com/pesta-demokrasi-dari-masa-ke-masa/

Husein Abdulsalam. (2018, 10 Desember). “Pesta Demokrasi”: Istilah Pemilu Ciptaan daripada Soeharto. Diakses pada tanggal 21 Januari 2024. https://tirto.id/dbqJ

Pemberton, J. (1986). Notes on the 1982 General Election in Solo. Indonesia, 41, 1–22. https://doi.org/10.2307/3351033

Nordholt, N.G. Schulte. (1980). The Indonesian Elections: a National Ritual. https://doi.org/10.1163/9789004287204_009

Ari Kusumadewi