Korupsi Semakin Mudah Sebagai Tantangan Otonomi Daerah

Oleh: Muhammad Arya Aqilah Fauzan

Pendahuluan

Korupsi merupakan salah satu permasalahan yang ada di pemerintahan Indonesia saat ini. Banyak usaha yang telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan ini seperti  membuat regulasi hingga membentuk lembaga khusus yang bertugas memberantas korupsi. Namun ternyata ada sebuah sistem yang diterapkan di Indonesia yang justru membawa angin segar bagi para koruptor. Sistem tersebut adalah sistem pemerintahan daerah yang menjadi desentralisasi atau otonomi daerah sejak tahun 1998.

Tinjauan Pustaka

Korupsi merupakan suatu tindakan menyimpang untuk mendapatkan kekayaan dan keuntungan pribadi menggunakan uang rakyat atau negara secara ilegal dengan menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan.

Otonomi daerah (desentralisasi) adalah kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola urusan dan kepentingan masyarakat mereka sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hasil dan Pembahasan

Konsep desentralisasi termuat dalam Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat-Daerah. Kedua undang – undang tersebut memberikan sebuah keharusan bagi pemerintah pusat untuk melimpahkan separuh kekuasaannya kepada daerah sesuai dengan aturan yang berlaku untuk mengatur sendiri tanpa intervensi dari pihak manapun termasuk pemerintah pusat. Tujuannya adalah agar masyarakat bisa lebih dimanfaatkan serta turut berpartisipasi dalam proses kebijakan atau regulasi yang dibuat oleh pemerintah. Namun pada kenyataannya, justru semakin banyak oknum kepala daerah yang tidak bertanggung jawab melakukan tindak korupsi. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan ada 121 kepala daerah yang melakukan tindak korupsi dari rentang waktu tahun 2003 hingga 2019.

Setidaknya terdapat tiga faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi di daerah yaitu Pertama, tidak adanya partisipasi rakyat dalam penentuan regulasi karena pelimpahan kewenangannya hanya bersifat administratif. Sehingga ini mempermudah oknum kepala daerah untuk mengelola kekayaan daerah yang ada. Kedua, tidak adanya alat yang dimiliki negara untuk mengawasi secara pasti dan efektif terhadap penyimpangan yang terjadi di daerah karena pemerintah pusat hanya sekedar memberikan arahan ke pemerintah daerah. Ketiga, gagalnya pihak legislatif sebagai lembaga kontrol. Selain itu partisipasi masyarakat sebagai alat kontrol pun dari kalangan civil society jauh dari yang diharapkan.

Dalam usaha pemberantasannya, ada beberapa cara yang bisa dilakukan seperti pembentukan lembaga anti korupsi, pencegahan korupsi di sektor publik, pencegahan sosial dan pemberdayaan masyarakat, pengembangan dan pembuatan berbagai instrumen hukum yang mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi, serta peran mahasiswa dalam gerakan anti korupsi

Kesimpulan

Korupsi masih menjadi permasalahan yang sangat besar di sistem pemerintahan di Indonesia. Sistem otonomi daerah pun malah memberikan kemudahan bagi para oknum kepala daerah pelaku korupsi. Sistem ini masih perlu dikaji kembali agar bisa meminimalisasikan praktik korupsi yang terjadi di daerah. Selain itu peran masyarakat dan lembaga di daerah sangatlah penting untuk mengawasi jalannya otonomi daerah serta menghindari terjadinya tindak korupsi.

Referensi

Guntara, B. (2020). MARAKNYA KORUPSI DI PEMERINTAHAN DAERAH DALAM ERA DESENTRALISASI. Yuriska : Jurnal Ilmiah Hukum, 12(1), 11–24. https://doi.org/10.24903/yrs.v12i1.813

Moonti, R. M. (2017). HAKIKAT OTONOMI DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN DI INDONESIA (Vol. 19, Issue 2). https://jurnal.fh.umi.ac.id/index.php/ishlah/article/view/9

Setiawan, I., & Jesaja, C. P. (2022). Analisis Perilaku Korupsi Aparatur Pemerintah Di Indonesia (Studi pada Pengelolaan Bantuan Sosial Di Era Pandemi Covid-19). Jurnal Media Birokrasi, 33–50. https://doi.org/10.33701/jmb.v4i2.2744

Muhammad Arya Aqilah Fauzan