Ketika Perspektif Bertabrakan: Hukuman Mati di Indonesia dan Kontroversi Hak Asasi Manusia
Oleh: Evangeline Natashia | PPTI 16 | 2602189581 |
Indonesia, negara yang menunjung tinggi penegakan hukum berdasarkan Pancasila dan undang-undang sekaligus menjadi negara yang memperjuangkan hak asasi manusia, harus menemui titik temu antara keadilan dan moralitas. Hal ini disorot melalui perdebatan dari pandangan yang berbeda mengenai hukuman mati sebagai salah satu sarana keadilan yang digadang-gadang memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan, tetapi juga diduga melanggar esensi dari perlindungan hak asasi manusia yang ada di Indonesia. Lantas bagaimana masyarakat Indonesia menanggapi kontroversi ini?
Masyarakat memiliki opini abu-abu mengenai penetapan hukuman mati berdasarkan paparan informasi yang diterima oleh mereka. Beberapa bagian menyatakan bahwa hukuman mati harus ditetapkan dikarenakan pelaku memang dianggap pantas menerima hukuman tersebut. Beberapa bagian menyatakan bahwa ini adalah pelanggaran HAM dan penetapan hukum dapat diganti menjadi alternatif lain, seperti hukuman penjara seumur hidup. Sisa dari beberapa bagian itu, berpendapat tidak tahu atau tidak mengerti atau tidak peduli.
Pandangan dari masyarakat yang menyetujui hukuman mati tetap harus ditegakkan di Indonesia telah menganggap bahwa hukuman ini sudah selayaknya diberikan kepada pelaku kejahatan tersebut. Mereka beranggapan bahwa kejahatan pelaku sudah terlalu merugikan hingga putusan hakim harus menjatuhi pelaku dengan hukuman mati. Asumsi lain menyatakan bahwa efek hukuman mati ini memberikan rasa jera kepada masyarakat untuk berpikir ulang jika ingin melakukan tindak kejahatan. Pernyataan ini diperkuat pada Pasal 28j UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati HAM orang lain serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga menyatakan bahwa pembatasan hak asasi seseorang dengan adanya hak orang lain demi terciptanya ketertiban umum. Sehingga, meskipun pelaku memiliki perlindungan hukum mengenai nyawanya, tetapi mempertimbangkan bahwa pelaku sudah merenggut hak asasi manusia orang lain, maka beberapa kalangan masyarakat merasa bahwa hukuman mati dapat dijustifikasi.
Pandangan ketidaksetujuan dari masyarakat juga diperkuat dengan amandemen kedua Pasal 28A dan 28I Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Bahkan, menurut pandangan beberapa agama di Indonesia, nyawa dan hidup manusia pada hakekatnya adalah milik Yang Maha Kuasa. Permasalahannya juga terdapat bahwa hakim memiliki kemungkinan untuk melakukan kesalahan dalam menyelesaikan sebuah perkara. Ketika pelaku yang sudah dieksekusi ternyata dinyatakan tidak bersalah, maka dampak kerugian yang diderita serta ketidakadilan yang terjadi akan sangat besar. Masyarakat yang tidak setuju adanya hukuman mati di Indonesia juga berpendapat bahwa hukuman mati tidak dapat menjamin hilangnya kriminalitas yang terjadi di Indonesia serta meningkatkan rasa aman serta kebahagiaan dalam masyarakat.
Pada dasarnya, yang diinginkan oleh masyarakat adalah cara penegak hukum dapat menegakkan keadilan di Indonesia yang di mana dapat memberikan efek jera terhadap pelaku dan masyarakat, sekaligus mempertahankan perlindungan hak asasi manusia yang dimiliki oleh masing-masing individu tanpa terkecuali. Hal ini mungkin dapat terlaksana jika adanya kesatuan pandangan mengenai hukuman apa yang pantas diberikan kepada pelaku kejahatan yang telah dijatuhi hukuman mati. Karena, hingga saat ini masih ada tabrakan pendapat antara moralitas dan keadilan yang harus dihadapi di Indonesia mengenai hukuman mati.
Referensi:
Harruma, I., & Nailufar, N. N. (2022, April 30). Pro Kontra Hukuman Mati. Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2022/04/30/22300021/pro-kontra-hukuman-mati?page=all
Hoyle, C., & Batchelor, D. (t.t.). Opini publik tentang hukuman mati di Indonesia. Bagian II, opini publik: tidak ada halangan untuk penghapusan.