Kebebasan Media dalam Demokrasi Indonesia Menjadi Pisau Bermata Dua?

Oleh: Caroline Natalia Amran | PPTI 14 | 2602189171|

Dalam masyarakat demokratis, kesadaran informasi menjadi pondasi utama untuk membuat pilihan politis yang informan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh BJ Habibie, “Kebebasan pers adalah pondasi dari negara yang berdemokrasi.” Kebebasan media di Indonesia memainkan peran ganda dalam proses demokratis, diakui sebagai indikator kesehatan demokrasi namun juga dihantui tantangan yang dapat menghambat perkembangan sistem demokratis. Melalui berbagai platform, media memiliki beberapa tugas krusial. Media berperan sebagai sarana informasi yang memainkan peran penting dalam memberdayakan warga dengan memberikan akses terhadap berbagai informasi yang mendukung perkembangan manusia secara menyeluruh. Media juga menyediakan wadah untuk eksposur kebijakan publik, evaluasi kritis, serta memperkuat posisi masyarakat dalam merumuskan opini dan tuntutan (Sunstein, 2017). Meski begitu, media dihadapkan pada tantangan kompleks. Meski begitu, kebebasan media dihadapkan pada medan pertempuran antara berbagai kepentingan politik, mencerminkan kompleksitas tantangan yang perlu diatasi untuk memastikan perlindungan hak dan pemberdayaan warga di Indonesia.

Kebebasan media memberikan keuntungan substansial, berfungsi sebagai penjaga keseimbangan informasi dan berperan signifikan dalam membentuk opini publik (Sigit, 2024). Media memiliki dampak besar terhadap pandangan politik masyarakat, dapat memperkuat polarisasi dengan menyajikan sudut pandang tertentu. Meski cenderung mendukung kandidat tertentu selama kampanye politik, media juga memiliki potensi sebagai katalisator dialog yang sehat melalui platform seperti acara debat dan kolom opini, memungkinkan berbagai pandangan diberikan ruang untuk disampaikan.

Meskipun kebebasan media di Indonesia diakui sebagai elemen kunci mendukung demokrasi, media menghadapi berbagai tantangan serius seperti tekanan politik, sensor, dan ancaman terhadap keamanan jurnalis. Tantangan ini dapat membatasi ruang gerak media dalam memberikan informasi kritis dan independen, menghambat pelaporan yang bebas. Tantangan tidak hanya berasal dari faktor eksternal, tetapi juga dari kontrol atau intervensi terhadap isi media yang merugikan kualitas demokrasi. Sebagaimana diungkapkan oleh McChesney (2000) dalam bukunya ‘Rich Media, Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times’, keberadaan pihak-pihak tertentu yang mempengaruhi narasi media memiliki potensi untuk menciptakan ketidakseimbangan informasi dan memanipulasi opini publik. Oleh karena itu, mengatasi tantangan-tantangan ini menjadi esensial untuk memastikan kebebasan media di Indonesia tidak hanya ada dalam bentuk formal, tetapi juga dapat diwujudkan secara substansial mendukung proses demokrasi yang berkualitas.

Sebagai kesimpulan, kebebasan media dalam Demokrasi Indonesia dapat menjadi pisau bermata dua. Meskipun berperan penting dalam mendukung demokrasi, kebebasan media juga menghadapi risiko dan tantangan. Langkah-langkah perbaikan termasuk penguatan kebijakan, peningkatan literasi media, dan kerjasama antara pemerintah, lembaga media, dan masyarakat sipil. Dengan demikian, diharapkan kebebasan media dapat memperkuat demokrasi tanpa mengorbankan integritas dan keseimbangan dalam menyajikan informasi.

DAFTAR PUSTAKA

 Liputan6. (2019, 27 Agustus). “PWI Menganugerahi BJ Habibie Tokoh Kemerdekaan Pers.” Diakses pada 18 Januari 2024, dari   https://www.liputan6.com/news/read/4064256/pwi-menganugerahi-bj-habibie-tokoh-kemerdekaan-pers

Sunstein, C. R. (2017). “Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media.” Princeton University Press.

Sigit, Surahman. (2024). EKONOMI POLITIK MEDIA: DINAMIKA INTERAKSI TEKNOLOGI, MEDIA, DAN KEKUASAAN ERA 5.0. Madani Berkah Abadi, Yogyakarta. ISBN 978-623-473-331-0

McChesney, R. W. (2000). “Rich Media, Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times.” University of Illinois Press.

Caroline Natalia Amran