Benci dan Benci

Oleh:  Arcadius Benawa

Seorang Pastor yang hobi nggowes mensharingkan pengalamannya. Suatu pagi ketika ia sedang menggowes di kawasan Jalan Kaliurang Km 7.5 jalanan cenderung mendaki. Ia tetap santai menggowes karena tinggal menyetel giginya agar tetap enteng. Sementara di depannya tampak seorang Bapak setengah umur sedang ngos-ngos-an mengayuh sepedanya di mana istrinya memboncengnya. Pastor itu sengaja tidak menyalib mereka. Di belakang sepeda Bapak itu sayup-sayup ia mendengar pembicaraan antara suami istri yang sedang berboncengan itu. Karena jalanan menanjak istrinya bertanya pada suaminya yang tampak ngos-ngos-an menggowes sepeda bututnya. “Capek, Mas?” “Ora,” jawab sang suami sambil terus menggowes dalam peluhnya yang terus bercucuran meski hari masih pagi. Setiap kali ditanya, sang suami selalu menjawab, “Ora” yang berarti tidak. Ia tidak capek walau secara kasat mata jelas ia kecapekan mengingat jalanan menanjak dan istrinya masuk kategori STNK (Setengah Tua Namun Kencang/singset). Itulah gambaran “benci” yang pertama, yakni benar-benar cinta. Sang suami tak memperhitungkan penatnya badan, dan derasnya keringat. Demi cintanya pada istrinya ia setiap hari memboncengkan istrinya pulang dari Pasar Kolombo, Kentungan Yogyakarta usai jualan.

Sedangkan benci yang kedua dalam arti memang benci dalam artian tidak cinta sama sekali. Kalau sudah benci, maka sebaik apapun yang dilakuan oleh orang yang dibenci akan dinegativir. Itulah yang dihadirkan oleh sikap para parisi dan ahli Taurat. Mereka benci pada Yesus karena merasa terancam kenyamanan kedudukannya sebagai elit agama. Pasalnya, Yesus sanggup menyedot perhatian begitu banyak orang dengan aneka mukjizat yang dilakukan-Nya. Orang buta bisa melihat, orang lumpuh bisa berjalan, orang sakit disembuhkan, orang berdosa diampuni, bahkan orang mati pun dihidupkan-Nya kembali. Mereka sendiri  mengakui keterancaman diri mereka dengan adanya Yesus, sehingga mereka berkata: “Kalau Ia kita biarkan, bisa-bisa semua orang akan mengikuti Dia dan kita akan ditinggalkan mereka. Maka Ia harus binasa!” Bahkan tak kurang dari seorang Imam Agung Kayafas pun berkata, “Lebih baik seorang binasa daripada seluruh bangsa binasa!”

Dalam skala yang lebih kecil, seorang yang benar-benar cinta ditampilkan dalam sikap Maria, saudara Lazarus. Karena cinta dan kasihnya Maria pada Yesus yang telah membangkitkan Kakaknya dari kematian, Maria membalur kaki Yesus dengan minyak narwastu seharga 300 dinar. Maria tidak memperhitungkan betapa berharganya minyak narwastu itu demi ungkapan cinta dan kasihnya pada Yesus.

Sementara Yudas Iskariot yang tidak benar-benar cinta pada Yesus melihat pemandangan Yesus yang diurapi kaki-Nya dengan minyak narwastu senilai 300 dinar itu berkomentar, “Guru, mengapa Engkau membiarkan dia berbuat demikian? Bukankah lebih baik minyak seharga 300 dinar itu digunakan uangnya untuk menyantuni orang-orang miskin?!” Namun rupanya Yesus tahu bahwa hal itu dikatakan Yudas Iskariot bukan karena hatinya ada pada orang miskin, namun karena ia mata duitan sehingga ia rela menjual Yesus Gurunya senilai 30 keping perak. Sebuah tindakan yang benar-benar tidak merepresentasikan cinta pada sesama manusia, apalagi pada Sang Guru. Menjual orang saja sudah melanggar hak asasi manusia. Yudas Iskariot menjual dengan harga rendah atas Gurunya. 30 perak itu identik dengan 1 dinar. Hal ini sungguh kontras dengan perbuatan Maria yang mengurapi kaki Yesus dengan minyak narwastu seharga 300 dinar.

Seorang Pencerah yang kita kenal dengan baik, yakni Bapak Gede Prama pun mengungkapkan bahwa cinta adalah kacamata positif yang membuat orang lebih bisa menghargai orang lain. Ia mengilustrasikan bagi orang yang sedang jatuh cinta, meski pasangannya berhidung pesek akan dikatakannya berwibawa. Meski kulitnya hitam akan dikatakannya hitam manis. Bahkan makan sepiring berduapun nikmat, tidak dianggap sebagai kekurangan.  Sebaliknya kalau orang itu dikuasai oleh rasa benci apa yang baik pun akan dinegativir. Misalnya, walaupun ia punya waktu karena yang minta waktu adalah orang yang ia benci maka ia bilang, “Maaf, saya tidak punya waktu!” Meskipun ia punya uang, namun karena yang membutuhkan adalah orang yang ia benci, ia pun bilang, “Maaf, saya sendiri sedang butuh uang nih!”

Maka, marilah kita bangun sikap benci dalam artian benar-benar cinta dan bukan benci dalam artian benar-benar tidak cinta. Dengan cinta kita tidak lagi hitung-hitungan dan melihat segalanya dari sisi positif. Semoga.

Arcadius Benawa