Narasi Bengkok Kejujuran

Oleh: D6888-Mujahidil Mustaqim (Character Building Binus University)

Sebuah ungkapan yang cukup menggelitik keyakinan saya dari seorang tenaga pendidik yang berucap,”tidak apa-apa mencontek, asal jangan berisik”. Menggelitik bukan karena diucapkan dengan guyonan melainkan pada narasi yang ditularkan. Pada dasarnya, apapun bentuk perilaku ketidakjujuran tidak dibenarkan dalam konteks apapun. Hal yang menjadi perhatian adalah narasi tersebut berdampak pada pembentukan karakter anak sejak dini. Hal ini kemudian menjadi sebuah pembenaran bagi anak untuk melegalkan perilaku tidak jujur. Lalu tertular ke teman-teman sejawat, tertular dari satu generasi ke generasi yang lain. Akibatnya, hal ini tumbuh menjadi keyakinan hingga remaja atau dewasa. Dari sini dapat diketahui bahwa bagaimana sebuah narasi berkembang menjadi sebuah keyakinan.

Narasi yang awalnya boleh jadi tidak bermaksud secara sadar dan terencana mendidik hal tidak benar pada anak, namun bisa berdampak besar pada perkembangan karakter anak. Narasi yang jikapun disampaikan dari nuansa kelakar, namun apabila disampaikan pada anak yang sedang berada pada fase belum bisa membedakan mana yang baik dan buruk, atau mencari jati diri, hal ini tentu mengacaukan cara berpikir anak dalam melihat sebuah fenomena. Di samping itu, juga berpengaruh pada bagaimana respon anak dalam menghadapi fenomena. Seiring pertumbungan critical thinking anak, narasi ini bisa berubah menjadi narasi yang jauh lebih berbahaya,”tidak apa-apa mencuri, selama tidak berisik” atau “tidak apa-apa terus korupsi, selama main cantik, selama tidak ketahuan”. Narasi tersebut yang sudah berkembang menjadi keyakinan menjadi perilaku tidak jujur yang dibawa hingga dewasa. Di sisi lain, perilaku tidak jujur terkadang berawal dari hal-hal yang dianggap sepele.

Bangsa ini sudah memasuki fase krisis nilai-nilai kejujuran. Korupsi dipelihara, dijadikan alat untuk memperkaya dan sanksi penjara tak membuat sengsara. Dari segi materil, sudah berapa besar kerugian yang harus diterima negara akibat orang yang tidak menjunjung nilai-nilai kejujuran. Belum lagi jika kita bicara dampak sisi moril. Padahal dalam konstitusi sangat jelas dinyatakan bahwa kita menasbihkan diri sebagai bangsa yang ber-Tuhan, beradab, bersatu, bermufakat dan berkeadilan. Lima jati diri ini mengandung nilai idealitas dan realitas. Nilai idealitas merupakan nilai yang diinginkan untuk dicapai. Sedangkan nilai realitas diartikan sebagai nilai yang menjadi identitas dan sudah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Semestinya angka korupsi bisa ditekan jika kita menjadikan jati diri bangsa (bangsa yang ber-Tuhan, beradab, bersatu, bermufakat dan berkeadilan) sebagai kebiasaan yang terus dirawat dalam kehidupan sehari-hari.

Hari ini, kejujuran menjadi barang yang mahal dan langka di negeri ini. Persepsi tentang kejujuran secara drastis sudah berubah. Dahulu kejujuran dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan kebohongan sebagai sebuah pantangan. Ini terlihat dari banyaknya cerita-cerita orang tua jaman dahulu atau cerita-cerita rakyat pada masing-masing provinsi yang sengaja dibuat dan diwariskan untuk mengedukasi anak-anak agar tumbuh mempunyai karakter-karakter mulia. Misalnya cerita rakyat di Sumatera Barat mengenai kisah Malin Kundang dan cerita Batu Menangis di Kalimantan Barat yang mengandung nasehat untuk berbakti kepada orangtua, tata krama dan pengorbanan, cerita rakyat di Sumatera Utara mengenai pentingnya menjaga janji. Atau cerita yang diwariskan orangtua yang mengandung pantangan tapi terdapat sebuah pesan yang moril, misalnya orangtua yang melarang anaknya akhir tahun ke luar (pantai, gunung dan lain-lain) dengan maksud agar anaknya terhindar dari bencana, misalnya longsor, dan lain-lain. Selain itu, cerita orangtua kepada anak jika makan nasi tidak habis maka nasinya menangis. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan karakter sederhana, tidak mubazir, dan bersyukur dengan rezeki yang diterima. Terlepas dari apakah cerita tersebut fiksi atau non fiksi, cerita-cerita orangtua dahulu dan cerita rakyat sarat nilai dan pesan edukasi.

Melihat dari cara tersebut, cara yang digunakan orangtua zaman dahulu untuk mewarisi nilai-nilai moril, maka tidak semestinya narasi tersebut dilontarkan oleh tenaga pendidik, baik dalam konteks guyonan atau bahkan konteks yang serius. Pada hakikatnya tenaga pendidik layaknya dokter. Jika salah memberi resep, maka bisa fatal akibatnya.

Mujahidil Mustaqim