Meningkatkan Kecerdasan Intelektual, Emosional dan Spiritual (Serial Menjadi Manusia Paripurna – 1)

Oleh: Murty Magda Pane, ST., M.Si

Mengutip puisi karya Dorothy Law Nolte, yang berjudul Children Learn What They Live (Anak Belajar dari Kehidupan). Dalam puisi itu dikatakan:

“Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.” (sumber:  https://jatengprov.go.id/publik/dibesarkan-dengan-kasih-sayang-anak-akan-belajar-temukan-cinta-dalam-kehidupan/)

Puisi tersebut kira-kira mendeskripsikan tentang pendidikan anak. Beberapa ketentuan menyatakan bahwa rentang usia manusia yang bisa dikategorikan sebagai anak adalah 0 s/d 18 tahun. Pertanyaannya adalah: bagaimana jika kita baru mengetahui tentang apa yang dikatakan oleh Dorothy Law Nolte setelah dewasa? Mungkin di usia 20-an tahun?

Kita semua mengetahui bahwa pendidikan sangatlah penting. Sehingga pendidikan bisa diberikan dan dijalani di usia berapapun. Sebenarnya, seyogyanya setiap individu senantiasa terus belajar, meningkatkan kapasitas diri secara intelektual, emosional dan spiritual, sehingga menjadi manusia yang paripurna.

Indonesia, sebagai suatu negara yang berpenduduk mayoritas muslim, tentunya terbiasa dengan datangnya bulan suci Ramadhan. Tentunya para penduduk muslim ini mengetahui bahwa di dalam bulan Ramadhan terdapat ibadah yang Istimewa yaitu puasa, dengan segala ketentuannya. Puasa sendiri, dengan segala ketentuannya tersebut, sebenarnya memiliki nilai-nilai pendidikan, yaitu: puasa sebagai sarana mengembangkan kecerdasan emosi, puasa sebagai sarana pendidikan kejujuran, puasa mendorong & mendidik agar senantiasa belajar dalam rangka memperoleh & meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, puasa sebagai sarana pendidikan kesetaraan, sebagai pendidikan sikap disiplin, dan yang terakhir puasa mendidik kesabaran.

Sebagai pendidikan kecerdasan emosi, puasa menuntut agar menahan diri dan hawa nafsu. Hal ini membuat pribadi agar dapat melakukan pengendalian diri (self-control) dan pengaturan diri (self- regulation). Kecerdasan emosi juga meliputi rasa empati, motivasi diri (self-motivation) dan kecakapan sosial, bergaul dan berinteraksi dengan orang lain (social skill). Ketika seseorang sedang berpuasa sama-sama marasakan haus dahaga, lapar sebagaimana dirasakan oleh orang-orang yang tidak punya atau orang miskin, dari situlah sebagai orang yang berkecukupan bahkan kekayaannya berlimpah ruah,  ketika sedang berpuasa ia  turut merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang serba kekurangan betapa penderitaan dan kesedihan yang senantiasa menyertai hidupnya. Hal-hal ini juga berhubungan erat dengan pendidikan kejujuran, kesetaraan, sikap disiplin dan kesabaran. Karena itu hal-hal ini bisa dikatakan sebagai suatu sistem, sebagai cara praktis melatih kasih sayang jiwa dan nurani manusia, sehingga bisa dikatakan sebagai cara yang paling efektif untuk melatih cinta (https://pustakaarsip.kamparkab.go.id/artikel-detail/696/nilainilai-pendidikan-dalam-puasa-ramadhan).

Jika saat berpuasa kita juga tetap beraktifitas seperti biasa berupa pengembangan diri dengan tetap mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi, maka kecerdasan intelektual kita juga akan ikut terasah. Puasa sendiri merupakan suatu bentuk ibadah, suatu bentuk peningkatan kesadaran untuk mentaati perintah Yang Maha Kuasa. Maka tidak mengherankan, jika para umat muslim Indonesia benar-benar menjalankan ibadah puasa selama 1 bulan dengan mengikuti tata cara yang sudah diajarkan, seharusnya seluruh umat muslim Indonesia menjadi manusia yang paripurna. Tetapi, pada kenyataannya, apakah benar umat muslim Indonesia yang notabene merupakan sebagian besar penduduk, sudah menjadi pribadi-pribadi yang paripurna? Cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual? Mungkin pertanyaan ini harus menjadi renungan kita bersama, sebelum kita melanjutkan ke artikel bulan depan.

Murty Magda Pane, ST., M.Si