Kebahagiaan dan Cara Berpikir Kita (Serial Tulisan tentang Kesehatan Mental – 3)
Oleh: Murty Magda Pane, ST., M.Si
Kita sudah mengetahui sedikit tentang gangguan mental melalui beberapa jenisnya, yaitu: stress, trauma, depresi, kecemasan, Adverse Childhood Experiences (ACE), somatisasi, permasalahan kognitif dan penurunan energi dari uraian bulan lalu. Uraian tersebut juga menyatakan bahwa gangguan-gangguan mental tersebut menyebabkan terjadinya darurat kesehatan mental pada masyarakat DKI Jakarta, bahkan, mungkin, Indonesia. Yang mencemaskan adalah gangguan-gangguan mental tersebut banyak terjadi pada usia produktif. Bisa kita bayangkan jika orang-orang pada usia produktif ini ‘menularkan’ gangguan mentalnya kepada orang lain di sekitarnya. Tentunya akan lebih berbahaya lagi, apabila orang-orang yang ada di sekitar orang-orang dengan gangguan mental tersebut, merupakan anggota keluarganya yang tergolong anak kecil atau (sampai dengan) remaja. Tentu saja anggota keluarga tersebut berisiko mengalami gangguan mental yang lebih berat daripada orang-orang usia produktif pada saat ini tersebut di masa yang akan datang.
Untuk itu sudah sepatutnya dirancang suatu strategi untuk menangani isu ini. Cara yang mudah dilakukan dalam strategi ini tentunya “mendapatkan kebahagiaan”. Mungkin banyak yang bertanya-tanya, bagaimana mendapatkan kebahagiaan di saat mental sedang terganggu?
Cara pertama yang bisa saya ajukan adalah mendapatkan makna “kesejahteraan” atau yang populer disebut sebagai wellbeing. Dalam ilustrasi yang menggambarkan sebab & akibat dari wellbeing dari suatu populasi tertentu, terdapat bagian level tertinggi tetapi paling sedikit dari populasi tersebut, yang disebut sebagai bagian ‘kemajuan/maju’ (flourishing). Flourishing merupakan pengalaman hidup yang berjalan baik. Flourishing bisa didefinisikan sebagai kombinasi dari perasaan baik (good feeling) dan berfungsi secara efektif. Flourishing juga merupakan sinonim dari level kesejahteraan mental yang tinggi dan melambangkan kesehatan mental. Walaupun tetap ada perbedaan definisi antara flourishing dan wellbeing, tetapi kondisi flourishing ini bisa kita adopsi sebagai kondisi seseorang yang sehat secara mental. Dimensi-dimensi dari flourishing adalah emosi positif, engagement, hubungan (relationship), makna (meaning) dan pencapaian (accomplishment) (sumber: Happiness untuk Indonesia: Konsep, Riset, Pengukuran, & Kebijakan Publik – Nurlaila Effendi (materi untuk Semiloka Darurat Kesehatan Mental Indonesia – Himpsi Jaya)).
Merujuk pada tagline Hari Kesehatan Mental Dunia tahun 2023, “Pikiran Kami, Hak Kami”, tentunya strategi peningkatan kesehatan mental berhubungan dengan pikiran kita. Hal ini dapat dimulai dari sistem berpikir (system thinking) kita. System thinking didefinisikan sebagai cara berpikir untuk memahami dan mengelola masalah yang kompleks. System thinking meliputi 3 aspek, yaitu: mengasumsikan bahwa setiap persoalan atau fenomena muncul (emerge) dari suatu sistem yang kompleks; untuk memahaminya dengan baik, persoalan tersebut perlu dipahami dalam
keseluruhan kompleksitasnya; fokus yang sempit dan solusi yang terisolasi sering menimbulkan policy resistance dan konsekuensi yang tidak dikehendaki (unintended consequences) (sumber: System Thinking untuk Penanganan Kesehatan Mental – Abdul Malik Gismar (materi untuk Semiloka Darurat Kesehatan Mental Indonesia – Himpsi Jaya)).
Mengacu pada pertanyaan pemicu saya pada artikel bulan lalu, yaitu bagaimana kita menjaga pikiran kita agar tidak terpengaruh emosi negatif yang bisa saja tiba-tiba muncul karena situasi & kondisi tertentu atau mungkin juga mempengaruhi situasi & kondisi tertentu yang didominasi emosi negatif sehingga menjadi emosi positif? Setelah sedikit membahas tentang wellbeing dan system thinking, mungkin kita harus mulai mempertimbangkan faktor wellbeing dalam menetapkan dan menyusun system thinking kita. Lalu, bagaimana implementasinya? Sepertinya cukup panjang penjelasannya. Saya bahas tentang ini bulan depan, ya? Sampai jumpa lagi bulan lagi di artikel bulan Desember.