DPR Masih Repsentasikan Kepentingan Rakyat?
Oleh: D6888-Mujahidil Mustaqim (Character Building Binus University)
Bulan April 2023 Litbang Kompas melakukan riset mengenai kinerja DPR di mata masyarakat. Riset dilakukan terhadap 506 responden dari 34 provinsi yang ada di Indonesia. Mengenai hasil riset tersebut, ada beberapa poin yang menarik untuk diulas antara lain Pertama, 76,2 persen masyarakat menilai tidak puas dengan kinerja DPR. Hanya 18,8 yang merasa puas dan 5 persen menjawab tidak tahu. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja DPR masih jauh dari apa yang diharapkan oleh yang memberi mandat. Tidak henti-hentinya drama anggota DPR yang tersandung kasus suap, korupsi beserta kerugian yang ditimbulkan, pengadaan gorden rumah dinas DPR senilai 43,5 miliar, pengadaan fasilitas spa dan kolam renang di gedung baru DPR, uang saku dinas anggota DPR kunjungan ke luar negeri yang fantantis, anggota DPR yang tidur pulas saat rapat hingga kasus viralnya di media sosial anggota DPRD DKI yang bermain judi slot saat rapat paripurna.
Jika melihat ke belakang sebetulnya tren kinerja DPR bisa dikatakan tidak pernah membaik. Hal ini ditunjukkan oleh hasil survei Litbang Kompas tahun 2019 yang menyebutkan 62,4 persen persepsi masyarakat terhadap citra DPR buruk. Hanya 24,8 persen yang menilai citra DPR baik. Bahkan hingga Januari tahun 2023 citra DPR kian tergerus ke angka 49,3 persen. Institusi ini terus mendapatkan stigma yang tidak miring dari masyarakat. Masyarakat acap kali menuangkan komentar-komentar di media sosial sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap kinerja DPR. Meskipun demikian, cibiran-cibiran tersebut tak mampu menjadi pemacu membaiknya kinerja DPR.
Kedua, sebanyak 84,1 persen masyarakat menilai anggota DPR jauh lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya (partai politik) dari pada rakyat. Kondisi ini jelas sangat bertentangan dengan demokrasi yang diyakini banyak orang. Demokrasi sejatinya berdiri atas dasar bahwa keinginan rakyat berdiri diatas kepentingan pribadi dan kelompok. Afifa Rangkuti menggarisbawahi bahwa saat sebuah negara menyatakan menganut demokrasi maka konsekuensi yang mesti dijalankan antara lain rakyat yang membuat aturan dasar, rakyat yang membentuk pemerintahan, rakyat yang membuat kebijakan untuk dilaksanakan oleh pemerintah tersebut serta rakyat yang mengawasi dan menilai pelaksanaan kebijakan tersebut atau kinerja pemerintah.
Ungkapan Bambang Pacul Komisi III DPR RI beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa salah satu penyebab RUU Perampasan Aset tidak kunjung disahkan oleh DPR disebabkan oleh tidak mendapat persetujuan dari Ketum Partai adalah sebuah gambaran nyata bahwa kekuasan tertinggi bukan pada rakyat. Bangsa kita boleh jadi dibungkus dengan rapi dengan merek negara demokrasi tapi pada kenyataanya bangsa ini belum sepenunya lepas dari bayang-bayang kedikdatoran. Kebijakan dirumuskan suka-suka segelintir orang yang berkuasa, kebijakan dibuat yang menguntungkan pembuat kebijakan, kebijakan adalah titipan pesanan beberapa kelompok merupakan hal-hal yang sama sekali tidak diinginkan. Sikap mengabaikan aspirasi rakyat tidak hanya melukai orang-orang yang memercayakan mandat kekuasaan akan tetapi juga sebagai gerbang masuk kembali ke sejarah kelam otokratis. Demokrasi lahir dengan keyakinan bahwa negara akan berjalan dengan harmonis, adil dan sejahtera jika kekuasaan tidak mutlak pada satu orang. Bilamana kendali kekuasaan dipegang penuh orang satu pihak maka yang paling dikhawatirkan adalah penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Data yang menunjukkan bahwasanya kebijakan yang dikeluarkan oleh DPR tidak merepsentasikan kepentingan rakyat semestinya membuat kita sadar bahwa demokrasi kita sedang tidak baik-baik saja.
Selain itu jika kita mau membuka mata untuk melihat lebih luas lagi, data indeks demokrasi tahun 2022 yang dirilis oleh Economist Intelligence (EIU) menyebutkan demokrasi Indonesia berada para peringkat ke 54 dari 167 negara di dunia. Indonesia memperoleh skor 6,71 yang berarti bahwa demokrasi Indonesia masuk pada klaster demokrasi yang cacat (flawed democracy). Di Asia, jika dibandingkan dengan negara yang sama-sama memiliki populasi yang besar seperti Indonesia, maka India juga masuk pada klaster demokrasi flawed democracy. Namun Indonesia dinilai masih jauh demokratis dari pada negara Asia lainnya yang populasi yang juga besar seperti China. Indeks demokrasi China berada pada angka 1,94 yang berarti masuk pada klaster otoriter (authoritarian regimes).
Kinerja DPR vs Kinerja Pemerintah
Salah satu ciri utama lainnya dari demokrasi untuk mencegah terjadi penyalahgunaan kekuasaan adalah adanya pembagian kekuasaan. Kekuasaan dibagi menjadi tiga, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam konteks ini, kinerja DPR sebagai pemegang tampuk kekuasaan legislatif menjadi sorotan. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan tingkat kepuasaan terhadap kinerja lembaga eksekutif. Pemerintahan Jokowi beserta wakil dan menteri-menterinya mendapatkan respon yang cukup apik di kalangan masyarakat. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada bulan April 2023 tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Jokowi berada pada angka 76,8 persen. Kepuasan rakyat terus naik ke angka 81.9 persen pada Juli 2023.
Berdasarkan UU nomor 17 tahun 2014, DPR mempunyai tiga fungsi dasar yakni legislasi, anggaran dan pengawasan. Diantara fungsi tersebut, tugas pokok DPR antara lain menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU), menetapkan UU bersama dengan Presiden serta menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Herman Khaeron mengatakan dari 37 RUU yang masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2023 baru ada 2 RUU yang sudah disahkan menjadi Undang-Undang.
Ini merupakan fakta yang sekian bahwa kinerja lembaga legislatif tidak pernah lepas dari kritikan. Di samping itu, hal ini menunjukkan kinerja DPR tidak pernah membaik dan bahkan kian merosot. Ini yang kemudian menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat juga kian menurun. Padahal salah tiang penyangga berhasilnya demokrasi adalah legislatif. Menurut Rao terdapat 3 model representasi pengambilan keputusan, antara lain model representasi trustees yang mempunyai arti Perwakilan adalah agen bebas dan mengikuti apa yang dianggapnya benar atau adil dan konsepsi rasional yang mana perwakilan mengikuti penilaiannya sendiri atas fakta yang terjadi berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya tentang masalah terkait. Lalu, model representasi delegate, perwakilan tidak boleh menggunakan penilaian pribadi mereka sebagai dasar membuat kebijakan. Mereka akan mengutamakan kepentingan dan tuntutan pihak yang diwakilinya. Kemudian yan terakhir adalah model representasi politicos merupakan kombinasi model trustees dan delegate yang berarti di satu waktu bisa saja lebih mendekati karakter model trustees dan menjadi delegate di waktu yang lain.
Di tahun depan, untuk memperbaiki kinerja DPR setidaknya dapat diinisiasi dengan menerapkan prinsip representasi delegate. DPR harus menyadari kembali fungsinya bahwa setiap keputusan yang diambil harus didasarkan pada aspirasi rakyat. Ego kepentingan pribadi atau kelompok partai politik harus dikesampingkan. Kembalikan kekuasaan tertinggi secara utuh kepada rakyat. Dengan demikian, setiap kebijakan memang betul-betul berorientasi untuk kemaslahatan bersama. Citra lembaga ini akan membaik, begitupun dengan indeks demokrasi jika setiap kebijakan dikeluarkan atas nama rakyat, untuk rakyat bukan kerabat politik.