Hidup itu Persiapan

Oleh: Arcadius Benawa

Teman-teman Dosen tentu gemes ketika di masa koreksi seperti sekarang ini mendapati mahasiswanya memberi jawaban ala kadarnya alias asal jawab, yang mengindikasikan bahwa si mahasiswa tidak mempersiapkan diri dalam maju ujian. Terhadap realitas ini tak kurang dari Guru Besar saya di Univesitas Negeri Jakarta, yakni Prof. Dr. Sudijarto, MA mengatakan, kalau jawabanmu itu sama saja dengan jawaban orang yang tidak kuliah, mengapa kamu kuliah? Pesan moralnya jelas, kadang sebagai dosen kita memang gemes ketika mendapati jawaban mahasiswa yang mencerminkan bahwa si mahasiswa sama sekali tidak membaca hand out yang sudah jelas-jelas dan tegas-tegas dikatakan menjadi referensi wajib dalam menjawab ujian secara online. Jadi, jangankan membaca, membuka filenya pun bisa jadi tidak atau lebih parah lagi kalau si mahasiswa tidak tahu atau tepatnya tidak mau tahu bahwa ada hand out yang menjadi pegangan dalam perkuliahan. Satu kata untuk mahasiswa seperti itu adalah mahasiswa yang maju ujian bonek (bondo nekad) alias tidak persiapan sama sekali.

Namun sebagai dosen pun kita harus jujur bahwa demikian jugalah yang bisa jadi dirasakan oleh mahasiswa, ketika kita sebagai dosen tidak mempersiapkan diri secara memadai dalam mengajar. Yang muncul adalah sekadar mengajar atau mengajar tanpa roh atau mengajar sekadar mengisi waktu hingga jam kuliah usai.

Rupanya memang untuk segala sesuatunya itu perlu persiapan. Bahkan untuk tidurpun perlu persiapan dengan doa sebelum tidur agar dapat tidur nyenyak dan bangun dalam keadaaan sehat dan segar kembali sehingga siap menghadapi dan menjalani aktivitas di hari baru. Apalagi untuk ujian. Namun manusia ada kecenderungan untuk vivere veri coloso, nyerempet-nyerempet bahasa, suka main api, bonek, dan sebagainya yang merepresentasikan keengganan untuk mempersiapkan diri.

Kondisi kurang persiapan dalam menjalankan tugas juga digambarkan dalam kisah 5 gadis bodoh dan 5 gadis bijaksana di dalam Injil Matius 25:1-13. Lima gadis yang bijaksana adalah gambaran orang yang mengemban tugas dengan mempersiapkan diri sebaik mungkin, yakni dengan menyediakan minyak cadangan dalam buli-buli. Sementara 5 gadis yang bodoh adalah gambaran orang yang menjalankan tugas ala kadarnya. Hal itu digambarkan dengan sikap 5 gadis bodoh yang hanya mengandalkan minyak di dalam pelitanya yang menyala. Mereka tidak berpikir antisipatif akan segala kemungkinan yang akan terjadi. Mengantisipasi segala kemungkinan adalah bagian dari persiapan demi dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.

Penulis sendiri pernah mengalami peristiwa yang tidak mungkin dilupakan, yakni akan pentingnya mengantisipasi segala sesuatunya, termasuk adanya cuaca yang tidak bersahabat untuk perhelatan akbar di halaman terbuka. Semua sudah disiapkan, namun ketika ada satu yang terlewatkan, yakni cuaca yang kurang diperhitungkan, akibatnya sungguh menyedihkan. Semaraknya acara outdoor tersebut terganggunya.

Jadi, kesiapan untuk menghadapi tugas yang mesti kita jalani adalah kunci bijaksana atau bodohnya kita. Berpikir dan bertindak antisipatif adalah salah satu caranya mempersiapakan diri dalam menghadapi tugas. Namun karena mungkin orang tak suka dibilang bodoh, maka dipakailah istilah kurang bijaksana yang sebetulnya dalam konteks renungan tentang 5 gadis bodoh dan 5 gadis bijaksana itu menjadi jelas. Bahwa bijaksana adalah orang yang dalam melaksanakan tugas mempersiapkan diri sebaik-baiknya dan sedetil-detilnya agar tidak merasa kecolongan dengan adanya yang kurang kita persiapkan atau antisipasi sebelumnya.

Menjalani hidup di dunia ini juga merupakan tugas yang mesti kita persiapkan bagi kehidupan kekal kita. Pertanyaannya adalah persiapan macam apa yang telah kita buat agar kita dapat masuk bersama Pengantin sebagaimana digambarkan oleh masuknya pengantin bersama kelima gadis bijaksana seperti yang diwartakan di dalam Injil Matius itu? Kalau kita bodoh dengan hanya mengandalkan minyak yang ada di dalam pelita kita tentu kurang memadai, maka disebut tidak bijaksana, karena saat masuk pada kehidupan abadi tidak bisa diperkirakan secara eksakta matematis. Yang bisa dilakukan oleh kita semua adalah menjaga nyala pelita kita tetap bersinar karena tidak kekurangan minyak. Pertanyaan lebih dalam lagi adalah sudahkah kita menyediakan minyak yang menopang nyala pelita hidup kita? Atau jangan-jangan kita nggak peduli sehingga abai dan lalai dan baru mau beli minyak jelang kedatangan sang mempelai yang berakibat fatal, yakni pintu ke ruang perjamuan nikah telah ditutup karena mempelai telah masuk dalam ruang perjamuan.

Beberapa persiapan di dalam hidup tentu saja dengan banyak cara. Misalnya saja dengan meningkatkan kepedulian sosial dan berempati sebagaimana dicanangkan oleh Binus University dengan sesantinya: Fostering and Empowering. Intinya satu, yakni melakukan apa yang membuat pelita hidup kita terus bernyala, tidak semakin meredup karena kehabisan minyak. Maka marilah kita panjatkan doa dengan mengutip ungkapan doa dari Santo Paulus kepada umat di Filipi: Semoga Allah yang telah memulai karya baik di dalam diri kita berkenan menyelesaikan hingga pada kesudahannya (Fil 1: 16). Jangan sampai kita baik hanya di awal hingga di tengah, namun endingnya buruk. Mari kita siapkan minyak bagi pelita hidup kita yang cukup agar terus menyala sehingga saat menyongsong kedatangan Sang mempelai, pelita kita tetap bernyala terang dan kita pun dilayakkan untuk masuk dalam perjamuan-Nya.

Arcadius Benawa