Akar Kekerasan secara Epistemologis
Oleh: Sitti Aaisyah
Seluruh awal kekerasan diawali dari cara berpikir yang mencoba menyederhanakan segala sesuatu ke dalam kerangka berpikir yang picik dan memerangkapnya ke dalam sebuah pandangan yang kategoris atau dikotomis, yaitu benar-salah, mulia-hina, tuan-budak, positif-negatif. Cara pandang demikian membuat seseorang sulit untuk menerima adanya alternatif-alternatif pemikiran yang mungkin berada di luar dua kutub ekstrim tersebut. Logika umumnya bekerja ketika ditanyakan lawan kata hitam akan menjawab putih. Padahal, jika jawabannya adalah bukan hitam maka alternatif jawaban bisa muncul, seperti merah, kuning, hijau, abu-abu, biru, dan seterusnya. Jika memiliki corak epistemologis demikian, sangat dijamin manusia tidak akan mudah untuk melakukan klaim-klaim kebenaran dengan cara yang arogan.
Derrida dalam L’animal que donc je suis menyatakan bahwa pengkategorian semua makhluk non-manusia ke dalam satu kategori hewan yang sama tidak hanya merupakan dosa terhadap pemikiran yang sehat, kejernihan pikiran, atau pemahaman empiris, tetapi juga merupakan kejahatan. Ini bukan kejahatan terhadap hewan, tetapi kejahatan tingkat pertama terhadap hewan secara individu. Kejahatan pertama ini adalah cara sistem pemikiran yang menjeneralisasi segala sesuatu tanpa mengindahkan adanya partikularitas atau nilai otentik dari suatu entitas. Lalu, pertanyaan lanjutan, apakah kita setuju dengan asumsi bahwa setiap pembunuhan, setiap pelanggaran terhadap perintah “Jangan membunuh”, hanya menyangkut manusia, dan bahwa pada akhirnya hanya ada “kejahatan terhadap kemanusiaan”? Barangkali karena cara manusia yang terbiasa berpikir arogan, tindakan semena-mena kepada entitas kehidupan yang lain dinormalisasi sebagai tindakan yang biasa-biasa saja tanpa ada konsekuensi moral. Dan demikianlah awal mula kekerasan terus diproduksi dalam kehidupan.