Akar Kekerasan secara Antropologis
Oleh: Sitti Aaisyah
Pengetahuan itu seperti obat. Jika ia diberikan kepada orang yang sakit dan membutuhkan, maka ia dapat menyembuhkan. Namun, jika diberikan kepada orang sehat dan tidak membutuhkan, ia akan menjadi racun dan dapat membunuh. Makanya, memiliki pengetahuan itu bisa berguna sekaligus bisa sangat berbahaya. Di layar kaca media kita dapat melihat bagaimana mereka yang merasa memiliki pengetahuan saling berdebat di depan publik dan menyatakan pendapatnyalah yang paling benar dan lawan tarungnya salah. Pengetahuan yang sejatinya menjadi pelita untuk membantu manusia memahami kehidupan dan segala misteri di baliknya, seringkali dijadikan sebagai senjata untuk menyesatkan orang lain demi mendukung hasrat dan nafsu kesenangannya sendiri.
David Hume yang terkenal sangat pesimis dan skeptis dengan pemikiran rasionalisme dan teodisi justru mengatakan bahwa impresi pertama yang hadir di jiwa kita adalah suatu yang murni yang dapat mengantarkan kita pada tindakan etis. Mengapa pikiran selalu menyesatkan kita? Menurut Hume, akal tidak dapat menjadi motif bagi kehendak melainkan merupakan “budak nafsu”. Contohnya, manusia melakukan rasionalisasi atas tindakannya sebagai dalil justifikasi. Maka, moral tidaklah bersumber dari akal. Fakta bahwa perangkat atau struktur moral setiap orang dan kebudayaan itu berbeda-beda. Sebagai contoh, meminum alkohol bagi suatu keudayaan adalah hal yang kultural sedang kebudayaan lainnya menganggap hal tersebut sebagai suatu pelanggaran. Perbedaan moral demikian berasal dari sentimen moral, yaitu perasaan setuju (penghargaan, pujian) dan tidak setuju (celaan) yang dirasakan oleh seseorang atau kelompok yang memiliki struktur penilaian atas suatu sifat atau tindakan karakter. Oleh karna itu, kebaikan dan kejahatan adalah suatu hal yang bersifat alamiah, dapat berbeda-beda, termasuk konstruksi nilai keadilan.
Apa jadinya ketika kebenaran dianggap hal yang eksklusif, sebagai miliki suatu kelompok tertentu saja? Akhirnya, keberadaan kebenaran-kebenaran yang lain dianggap sebagai kuman atau kotoran yang harus dibasmi sampai tuntas. Tindakan pembasmian itu diglorifikasi, dianggap sebagai suatu tindakan mulia karena telah menjaga kebenaran tetap steril apa adanya. Atas nama sterilisasi kebenaran, tindakan kekerasan menjadi mulia dan legal untuk terus dilanjutkan.