Wuwei dan Konsep Hukum menurut Konfusius
Oleh: Kristan
Wuwei secara harafiah berarti tidak melakukan apa-apa maksudnya semua berjalan dengan sendirinya. Ajaran Daoisme yang dibawakan oleh Laozi juga mendasarkan pemerintahan berdasarkan wuwei. Namun wuwei yang dimaksud oleh Konfusius berbeda dengan konsep wuwei yang ditawarkan oleh ajaran Daoisme. Konfusius berpendapat jika seorang yang arif dan bijaksana mampu meneladani rakyat maka pemimpin tersebut tentunya tidak perlu melakukan apa-apa lagi karena dengan teladan yang baik akan memberi contoh kepada semua. Pemerintahan berdasarkan wuwei bermaksud ketenteraman seluruh negara dapat dicapai dengan tanpa melakukan usaha apa-apa.
Jika ingin mencapai tahap demikian, syaratnya adalah pemimpin harus melakukan penyempurnaan diri sendiri terlebih dahulu secara maksimal sehingga memiliki kemurahan hati seperti para raja Tiongkok kuno yaitu Yao, Shun, dan Yu yang mampu mencapai pada tahap pemerintahan secara wuwei. Di dalam kitab Lunyu [15]:5 tertulis: “Orang yang dapat memerintah negerinya tanpa berbuat apa-apa, hanya raja Shun kiranya yang dapat melakukan itu. Apakah yang dilakukannya? Tidak lebih hanya dengan sungguh-sungguh hormat, menghadap ke Selatan menerima para menterinya.”
Pernyataan diatas menggambarkan Konfusius menyanjung tinggi cara pemerintahan raja Shun. Cara pemerintahan tersebut berdasarkan wuwei. Pada zaman Tiongkok kuno (3000-2205 SM) raja Shun menjadi model ideal bagi sebuah pemerintahan. Jika seorang pemimpin ingin berusaha memajukan negara maka ia harus memperoleh kepercayaan penuh dari rakyatnya, jika hal ini dapat dicapai, maka pemerintahan wuwei atau auto pilot akan bisa diwujudkan karena semua rakyat menaruh kepercayaan yang total kepada pemimpinnya.
Dalam konsep hukum Konfusius cenderung memandang hukum secara negatif, Konfusius juga tekesan menolak proses pengadilan. Dalam kitab Lunyu [12]:13 tertulis: “Ketika mendengar perkara hukum, aku hanyalah seperti orang lain, yang perlu dilakukan adalah mengusahakan tidak ada proses pengadilan agar orang tidak saling mendakwa.”
Sikap yang menentang proses pengadilan menjadi ciri khas masyarakat Tionghoa pada umumnya. Namun sikap itu disalahgunakan dengan sikap menyogok atau gratifikasi kenyataan adanya perilaku korup dan memeras bagi para penegak hukum, sehingga disalahartikan lebih baik menyelesaikan masalah hukum tanpa minta bantuan hukum. Pandangan Konfusius berbeda dibandingan dengan sebagian ahli filsafat hukum legalis, dimana rakyat harus diawasi melalui ketakukan akan hukuman. Terhadap hal ini Konfusius menjelaskan didalam kitab Lunyu [2]:3 sebagai berikut: “Memerintah dengan undang-undang dan menempatkan segalanya demi ketertiban melalui hukuman berarti menjadikan rakyat hanya menghindar dan menghilangkan harga diri.”
Bagi Konfusius memerintah harus berdasarkan ren cinta kasih, dan menempatkan segalanya berdasarkan li kesusilaan agar mampu menumbuhkan harga diri rakyat dan menjadikan rakyat hidup di jalan yang benar. Dengan demikian, Konfusius berpendapat bahwa hukum hanya dapat mengontrol melalui ketakutan pada hukum tersebut dan tidak bisa berperan dalam membentuk keperibadian manusia. Hukum dianggap tidak mempunyai sanksi teologis dan hanya buatan manusia, sehingga bisa sewenang-wenang, dan hukum posisinya dianggap lebih rendah daripada li (etika kesusilaan). reputasi penegak hukum yang buruk dapat menimbulkan penderitaan bagi rakyat.