Pemilu 2024 Sebentar Lagi
Oleh: Dr. Iwan Irawan
Pelaksanaan pemilu 2024 akan menghadapi berbagai AGHT (ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan) yang berpotensi mengancam ketahanan nasional. Ancaman adalah suatu hal atau usaha yang berpotensi mengubah atau merombak kebijaksanaan yang dilakukan secara konsepsional, kriminal, atau politik. Tantangan adalah suatu hal atau usaha yang bersifat menggugah kemampuan. Hambatan adalah suatu hal atau usaha yang berasal dari diri sendiri yang dapat melemahkan atau menghalangi secara tidak konsepsional. Gangguan adalah usaha dari luar yang bertujuan melemahkan atau menghalangi secara tidak konsepsional.
Politik identitas berpotensi memecah belah bangsa dan menghambat pesta demokrasi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Prasetyawan (2014) dan Gani (2018), faktor identitas (etnis dan agama) masih memengaruhi perilaku masyarakat dalam memilih calon wakil rakyat dalam pemerintahan. Dalam riset yang dilakukan oleh Gani, faktor agama memainkan peran penting dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Hasil riset menunjukkan adanya perbedaan jumlah suara yang signifikan di daerah-daerah dengan mayoritas populasi agama tertentu. Potensi penggunaan politik identitas pada pemilu 2024 dikhawatirkan dapat memecah belah masyarakat Indonesia. Sebab, tak jarang masyarakat Indonesia saling menjatuhkan karena diadu domba oleh pihak tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan golongan atau kelompok tertentu.
Berita hoaks akan bermunculan menjelang pemilu 2024. Hoaks itu dapat muncul karena adanya kepentingan politik untuk memenangkan pemilu dengan cara menjatuhkan lawan dengan cara dan maksud yang tidak benar. Menyebarluasnya hoaks berpotensi menyebabkan kondisi politik yang tidak kondusif. Misalnya, maraknya hoaks pada pemilu presiden tahun 2019 melalui media sosial seperti Whatsapp, Facebook, dan Twitter. Akibatnya, masyarakat terbelah menjadi dua kubu besar yang saling menegakkan fanatisme politiknya di atas klaim-klaim yang tidak benar. Kondisi tersebut dikhawatirkan dapat menumbuhkan sikap intoleran dalam masyarakat. Adanya sikap intoleran dan ujaran kebencian akan menyebabkan masyarakat saling berselisih dan terpecah belah.
Studi menunjukkan bahwa agenda peningkatan integritas politik elektoral masih terhambat oleh maraknya politik uang (Muhtadi, 2019; Aspinall & Berenschot, 2019). Secara umum, politik uang adalah bentuk mobilisasi elektoral dengan cara memberikan uang, hadiah atau barang kepada pemilih agar dicoblos dalam pemilu. Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Australian National University, pemilu legislatif 2019 dan 2014 menunjukkan adanya suatu pola yang sama, yakni semakin mendekati pemilu, insiden politik uang semakin besar. Akibat politik uang, masyarakat tak lagi memilih berdasarkan hati nuraninya, melainkan berdasarkan sogokan uang yang diberikan oleh partai tertentu. Persatuan Indonesia menjadi goyah karena pihak-pihak pelaku politik uang saling berlomba-lomba membeli suara rakyat. Akibatnya, pemilu sebagai salah satu wujud demokrasi tak lagi berjalan dengan bersih. Demokrasi Pancasila tidak dapat ditegakkan sebagaimana mestinya sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu ketahanan nasional.
Untuk mengatasi hal-hal yang dapat melanggar demokrasi pemilu, regulasi pemilu harus jelas dan tegas. Undang-undang pemilu saat ini masih mengikuti perspektif KUHP, di mana hal ini sudah tidak relevan dengan situasi sosial politik Indonesia pada saat ini (Satria, 2019:7). Tak hanya itu, model indefinite sentence dalam undang-undang pemilu memungkinkan hakim untuk menjatuhkan pidana sebebasnya (tidak ada batas minimum pemberian tindak pidana). Oleh karena itu, ancaman pidana dalam UU pemilu perlu direvisi dan dikonstruksi dengan menggunakan pola indeterminate sentence (ancaman pidana minimum khusus). Dengan demikian, pembentuk undang-undang dapat memberikan kepastian hukum karena ancaman pidana minimumnya sudah jelas diketahui dan memberikan efek jera bagi para pelanggar hukum. Hal ini sejalan dengan teori deterrence effect yang menekankan agar pelaku kejahatan tidak lagi mengulangi perbuatannya (special preventie), dan orang lain tidak melakukan kejahatan yang serupa (general preventie) (Lavafe dalam Satria, 2019:7).
Aparat penegak hukum harus berintegritas, berkredibilitas, dan berkomitmen dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya (Satria, 2019:11). Aparat penegak hukum hendaknya mementingkan persatuan dan kesatuan bangsa di atas kepentingan politik. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ditempatkan tidak hanya sebagai mitra Komisi Pemilihan Umum (KPU), tetapi juga sebagai mitra dari masyarakat. Bawaslu perlu bekerja sama dengan masyarakat sehingga potensi-potensi konflik perpecahan dalam proses penyelenggaraan pemilu dapat terdeteksi dengan cepat. Selain itu, KPU perlu memberi edukasi politik kepada masyarakat untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan selama pemilu.
Masyarakat perlu dibekali dengan pendidikan kewarganegaraan sejak dini. Sebab, pendidikan kewarganegaraan membentuk karakter warga negara yang berdasarkan atas nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan komitmen Bhineka Tunggal Ika (Zulfikar, 2021:108). Pendidikan kewarganegaraan menanamkan rasa cinta tanah air, nasionalisme, dan semangat bela negara dalam hati masyarakat. Selain itu, masyarakat perlu dibekali dengan wawasan nusantara, yaitu cara pandang bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional. Dengan demikian, masyarakat tetap mengutamakan persatuan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi. Masyarakat tidak mudah diadu domba oleh pihak-pihak tertentu dan dapat menghormati perbedaan pilihan antarsesama dalam pemilu.
Pada akhirnya, kesadaran dan komitmen dari seluruh lapisan masyarakat diperlukan agar pemilu 2024 berjalan dengan baik. Oleh karena itu, segenap masyarakat Indonesia perlu menyadari bahwa pemilu yang berdemokrasi ini diadakan untuk masa depan bersama sehingga penting bagi kita semua untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa selama berjalannya pemilu.
Referensi:
Fernandes, A. (2018). Politik identitas dalam pemilu 2019: Proyeksi dan efektivitas. Centre for Strategic and International Studies. CSIS Election Series No. 1, 1 – 10. Diakses dari https://mail.csis.or.id/uploads/attachments/post/2019/01/10/politik_identitas_dalam_pemilu_2019__proyeksi_dan_efektivitas.pdf
Marwanto, I., Midio, I. W., & Afifuddin, M. (2020). Ancaman hoaks ditinjau dari strategi pertahanan nirmiliter (studi pada pemilu presiden 2019). Jurnal Strategi Perang Semesta, 6(2), 128 – 137. Diakses dari https://jurnalprodi.idu.ac.id/index.php/SPS/article/view/837
Muhtadi, Burhanuddin. (2019). Politik uang dan new normal dalam pemilu pasca Orde Baru. Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS, 5(1), 56 – 69. Diakses dari https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/view/413
Satria, H. (2019). Politik hukum tindak pidana politik uang dalam pemilihan umum di Indonesia. Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS, 5(1), 5 – 8, 10 – 12. Diakses dari https://doi.org/10.32697/integritas.v5i1.342