Literasi Digital dan Pemilu

Oleh: Dr. Iwan Irawan

Menurut survei dari Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016, dari total penduduk Indonesia (256,2 juta orang), sebanyak 132,7 juta adalah pengguna aktif internet. Jumlah ini mengalami kenaikan sebanyak 51,8% dari jumlah pengguna internet pada 2014. Pengguna aktif internet dengan jumlah yang banyak tersebut rentan menjadi target berbagai hoaks, berita palsu, maupun ujaran kebencian yang beredar di media sosial. Potensi akan ancaman disintegrasi nasional sangatlah besar jika para pengguna internet tidak memiliki kesadaran literasi digital.

Pemilu tidak terlepas dari maraknya penyebaran hoaks di dunia maya. Hoaks adalah sebuah pemberitaan palsu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (Herawati, 2016:142). Hoaks menjadi metode yang efektif untuk mendapatkan posisi politik sekaligus menjatuhkan posisi lawan politik yang dapat dilakukan lebih dari satu kali atau secara terus menerus (repetitive action) serta berkesinambungan (Tahir dkk., 2020:237). Selama bulan April 2019 menjelang pemilu, sebanyak 486 konten hoaks teridentifikasi oleh Kantor Humas Kementerian Informatika. Selama 21 – 22 Mei 2019, Kominfo menemukan 30 berita hoaks yang disebarkan melalui 1.932 tautan, di antaranya 450 tautan di Facebook, 518 tautan di Instagram, 784 tautan di Twitter, dan 1 tautan di LinkedIn. Berdasarkan data yang ada, dapat diprediksi pemilu tahun 2024 tak terhindari dari adanya hoaks. Hoaks akan menyebar di berbagai media sosial.

Berkaca dari pemilu 2019, hoaks yang beredar berusaha memecah belah masyarakat dengan memanfaatkan isu-isu tertentu yang bersifat sensitif, seperti ideologi dan isu SARA. Masyarakat mengolok-olok orang yang berbeda pilihan politiknya dengan nama-nama hewan di Facebook atas dasar hoaks. Salah satu capres dikaitkan dengan PKI dan capres lain dikaitkan dengan unsur SARA. Hoaks dan ujaran kebencian juga masif disebarkan pada pemilu 2014. Tabloid Obor Rakyat menyebarkan kabar bohong dan ujaran kebencian terhadap salah satu kandidat. Berita hoaks tersebut disebarkan kepada masjid dan pesantren. Eksploitasi isu agama dan politik berpotensi memecah masyarakat, bahkan berujung konflik sosial (Bakri dkk., 2019:204). Hal ini menunjukkan urgensi penting dari literasi digital dan kemampuan berpikir kritis masyarakat Indonesia.

Kesadaran literasi digital penting untuk menghadapi berbagai tantangan dalam pemilu 2024 yang akan mendatang. Sebab, literasi digital menjadi cara penting untuk menghadapi permasalahn hoaks dan ujaran kebencian (Gumilar dkk. dalam Bakri dkk., 2019:203). Literasi digital tidak hanya mencakup kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga menyangkut kemampuan untuk memahami, mengadakan evaluasi, serta menggunakan informasi yang didapat dari sumber digital dengan penuh tanggung jawab (Amanta dalam Diktat CB Kewarganegaraan, 2023:84). Literasi digital terdiri atas literasi teknologi dan literasi informasi. Literasi teknologi merujuk pada kemampuan dalam menggunakan perangkat teknologi digital, sedangkan literasi informasi merujuk pada kemampuan untuk memetakan, mengidentifikasi, mengolah serta menggunakan informasi digital secara optimal (Kemendikbud dalam Diktat CB Kewarganegaraan, 2023:84).

Literasi digital dianalogikan sebagai pelindung individu ketika individu terpapar hujan informasi sewaktu berhadapan dengan internet dan dunia sosial (Sabrina, 2019:37). Literasi digital bertujuan memberikan kontrol lebih kepada khalayak dalam memaknai pesan yang beredar di media digital. Literasi digital memberi titik tekan pada kemampuan individu untuk berpikir kritis dalam menggunakan media digital dengan melibatkan kompetensi teknologi, kognitif, dan sosial. Hal tersebut perlu dilakukan agar warganet lebih kritis dalam menyaring informasi dan cakap dalam membedakan informasi yang akurat dan tidak akurat.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jonas De Keersmacker (Sabrina, 2019:42), derajat pembenaran yang dilakukan oleh individu terhadap suatu informasi tergantung pada kemampuan kognitif individu tersebut. Perbedaan tingkat literasi digital tentu berdampak pada perbedaan kontrol individu dalam proses interpretasi informasi. Menurut Potter (Sabrina, 2019:38), individu dengan tingkat literasi rendah sulit mengidentifikasi keakuratan informasi, menyortir kontroversi, menyadar konten satir, serta mengembangkan cara pandang yang luas. Sebaliknya, Potter menjelaskan bahwa individu dengan tingkat literasi tinggi mampu menginterpretasikan pesan dalam berbagai makna. Dengan demikian, individu tersebut dapat menyeleksi semua pilihan makna dan dapat memilih salah satu yang paling akurat berdasarkan beberapa sudut pandang (kognitif, emosional, estetik, dan moral). Oleh karena itu, literasi digital dan kemampuan berpikir kritis penting dalam menghadapi pemilu 2024 karena dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memproses berbagai informasi di media sosial dengan lebih akurat dan membuat masyarakat tidak mudah terseret arus tren informasi yang belum tentu benar.

Referensi:

Bakri, S., Zulhazmi, A. Z., & Laksono, K. (2019). Menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik. Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 4(2), 201 – 212. Diakses dari https://oldjournal.iainsurakarta.ac.id/index.php/al-balagh/article/view/1833

Gunawan, B., & Ratmono, B. M. (2018). Kebohongan di dunia maya: Memahami teori dan praktik-praktiknya di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Hal. 15 – 16. Diakses dari https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=uYg2EAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=hoaks+politik&ots=XXJzKDUA53&sig=1ykDRCVdb0rSOBDhJE7z4-0keUw&redir_esc=y#v=onepage&q=hoaks%20politik&f=false

Herawati, D. M. (2016). Penyebaran hoax dan hate speech sebagai representasi kebebasan berpendapat. Promedia, 2(2), 142. Diakses dari http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=841191&val=13601&title=Penyebaran%20Hoax%20dan%20Hate%20Speech%20sebagai%20Representasi%20Kebebasan%20Berpendapat

Sabrina, A. R. (2019). Literasi digital sebagai upaya preventif menanggulangi hoax. Journal of Communication Studies, 5(2), 37 – 43. Diakses dari https://doi.org/10.37535/101005220183

Tahir, R., Kusmanto, H., & Amin, M. (2020). Propaganda politik hoaks dalam pemilihan presiden tahun 2019. Perspektif, 9(2), 237, 239 – 245. Diakses dari https://www.ojs.uma.ac.id/index.php/perspektif/article/view/3458/2623

Iwan Irawan