12 Kharakter Moral Penting dalam Pancasila: [6] Gotong Royong
Oleh: Dr. Iwan Irawan
Gotong-royong merupakan peninggalan masa lalu yang terbukti memiliki banyak manfaat dalam interaksi sosial. Diwariskan secara turun-temurun, budaya gotong-royong merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang masih melekat di masyarakat hingga saat ini. Gotong royong merupakan salah satu ciri yang masih melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Secara garis besar gotong royong termasuk dalam sila ketiga dalam pancasila yaitu persatuan indonesia. Gotong Royong telah mendarah daging, bahkan menjadi kepribadian bangsa, dan budaya yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Nilai gotong royong juga ditanamkan hampir di seluruh wilayah Indonesia sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat. Gotong-royong berasal dari kata gotong artinya bekerja dan royong artinya bersama.
Dalam sistem gotong-royong, masyarakat bergotong royong meringankan beban orang lain yang membutuhkan. Kehidupan gotong-royong lazim dalam masyarakat yang berakar pada tradisi pedesaan atau pertanian, yang oleh Eric Wolf disebut sebagai masyarakat petani. Untuk memajukan negara dan mengatasi persoalan bersama, Soekarno yang mendalami gagasan Pancasila mengatakan istilah gotong royong adalah kata bahasa Indonesia yang menggambarkan jiwa Indonesia yang murni. Gotong royong berarti bahu membahu, bergandengan tangan. Suatu “kesadaran” bahwa semua warga negara adalah putra-putri ibu pertiwi dan menikmati hak dan kewajiban yang sama, meskipun penerapan, pelaksanaan, penjabarannya dalam kehidupan sehari-hari dapat berbeda.
Gotong royong adalah prinsip yang dinamis, bahkan lebih dinamis dari pengertian kekeluargaan yang digambarkan sebagai gotong royong dan saling tolong-menolong untuk kebaikan bersama. Bung Karno, penggali Pancasila, pernah mengatakan bahwa jika lima sila Pancasila dipadatkan menjadi satu, maka akan ditemukan prinsip “gotong royong”. Semangat solidaritas sosial Indonesia ini merupakan bagian dari etos Indonesia. Menurut Muhajar, nilai-nilai Pancasila antara lain gotong royong. Dari sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, gotong-royong dapat diartikan memiliki nilai ibadah. Perintah kedua adalah gotong royong harus berdasarkan prinsip kemanusiaan, dan perintah ketiga adalah tidak mungkin ada gotong royong tanpa persatuan. Sila keempat adalah berhati-hati dalam bergotong royong. Terakhir, sila kelima mencerminkan bahwa tujuan akhir gotong royong adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada hakekatnya, setiap arah pemikiran dan setiap perintah Pancasila mencerminkan pandangan tentang keutuhan kodrat manusia. Sifat manusia pada dasarnya dapat diringkas menjadi lima unsur, yang saling terkait dan saling melengkapi, dan semua sila dipadukan dengan cinta kasih. Semangat cinta inilah yang dituturkan Bung Karno dalam kata kerjanya “gotong-royong”. Menurutnya, gotong-royong adalah pemahaman yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan. “Gotong royong adalah jerih payah bersama, keringat bersama, perjuangan bersama. Semua perbuatan adalah untuk kepentingan semua, dan semua keringat adalah untuk kebahagiaan semua. Ho-lopis-egret-baris untuk kebaikan bersama! Berdasarkan cinta, semua Sila-sila pancasila akan dikembangkan dalam semangat gotong royong. Artinya: prinsip ketuhanan harus berjiwa gotong royong (ketuhanan terdidik, luas, inklusif); tidak saling menyerang dan mengucilkan tuhan. Prinsip-prinsip internasionalisme harus berjiwa gotong royong (yang berkemanusiaan dan berkeadilan); bukan internasionalisme kolonial dan eksploitatif. Prinsip nasionalisme harus gotong royong (mampu mengembangkan persatuan dari segala perbedaan, “bhinneka Tunggal Ika”); tidak menafikan perbedaan atau menolak persatuan bangsa.
Prinsip demokrasi harus memiliki semangat gotong royong (pengembangan musyawarah untuk mencapai mufakat); bukan demokrasi yang ditentukan oleh suara terbanyak (mayoral rule) atau segelintir elit keuangan yang berkuasa (minority rule). asas kesejahteraan harus gotong royong (pengembangan partisipasi dan emansipasi bidang ekonomi dalam semangat kekeluargaan); bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme; bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme.
Referensi
Dewantara, Agustinus. 2017. “ALANGKAH HEBATNYA NEGARA GOTONG ROYONG” (Indonesia dalam Kacamata Soekarno). Yogyakarta: Kanisius.
Latif, Yudi, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011.
Latif, Yudi, Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan, Mizan, Bandung, 2014
Latif, Yudi, Revolusi Pancasila, Mizan, Bandung, 2015.