12 Kharakter  Moral Penting dalam Pancasila: [1] Religius

Oleh: Dr. Iwan Irawan

Setiap individu memiliki seperangkat moral dan nilai yang berbeda. Karakter adalah sifat yang dibawa setiap orang karena dibentuk oleh orang tuanya. Sifat-sifat yang membentuk siapa seseorang, seperti kebangsaan, agama, bahasa, dan adat istiadat mereka. Dalam konteks agama, karakter mengacu pada perilaku yang mengikuti hukum agama, adat istiadat dan budaya. Sebaliknya, itu memiliki makna yang lebih netral dalam konteks sekuler. Karena setiap orang membutuhkan hubungan dengan keyakinan mereka, masuk akal bahwa keyakinan agama penting untuk membentuk kepribadian yang positif. Dengan religiusitas yang kuat, orang dapat menghadapi semua masalah dalam hidup dan memandang peristiwa secara positif. Ini juga membantu mereka untuk memecahkan masalah dengan baik dan menafsirkan peristiwa dalam hidup mereka secara positif.

Karakter religius merupakan penghayatan terhadap ajaran agama yang dianut dan dianut seseorang, serta mempertinggi sikap atau perilaku dalam kehidupan sehari-hari, baik sikap maupun perilaku yang dapat membedakan karakter orang lain. Suparlan (2010) menjelaskan agama sebagai nilai karakter sebagai sikap dan perilaku menaati ajaran agama sendiri, toleran terhadap praktik agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Agama, kata dasar agama adalah agama, yang berasal dari bentuk bahasa asing agama sebagai kata benda, yang berarti agama. Menurut Jalaluddin, pengertian agama adalah: Ketuhanan atau kekuatan super atau kekuatan yang transenden dan disembah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta, Wujud dari keyakinan tersebut di atas adalah perbuatan ibadah, yaitu suatu keadaan jiwa atau cara hidup yang mencerminkan kecintaan kepada Tuhan atau keyakinan, kehendak, sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan hukum-hukum Tuhan.

Sikap religius mengarah pada keadaan seseorang ketika melakukan setiap aktivitas yang berhubungan dengan agamanya. Ini adalah refleksi diri dari ketaatan pada ajaran agama sendiri. Agama diambil dari penjabaran dari perintah pertama: Percaya pada satu Tuhan. Sila ini menegaskan bahwa bangsa Indonesia dan setiap warga negara adalah satu kesatuan yang mengakui adanya Tuhan. Tuhan macam apa yang menjadi hak setiap warga negara. Bukti pengakuan ketuhanan ditunjukkan dalam ibadah dan ketaatan dalam ibadah. Pola bentuk, ibadah, dan ketaatan ini tercermin dalam agama yang dianut dan dikembangkan oleh setiap warga negara di Indonesia.

Sebagai bangsa Indonesia yang bertakwa dengan kecenderungan untuk membangun bangsa dan negara, setiap orang harus benar-benar memahami nilai-nilai kodrati dan religius yang terkandung dalam Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa, pada tataran spiritual, meliputi nilai-nilai keseluruhan nilai-nilai falsafah bangsa yang dilandasi oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas dasar itu, setiap warga negara Indonesia harus menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan keseluruhan nilai ajaran agamanya. Keragaman agama membuat negara kuat karena didukung oleh praktik keagamaan. Kewajiban selanjutnya di antara pemeluk agama yang berbeda adalah saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing untuk menjalankan ajaran agamanya secara teratur. Tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk menghina dan merendahkan ajaran agama lain yang berbeda dengan ajarannya.

Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk mengakui keragaman agama. Keanekaragaman tidak hanya ada, tetapi juga meliputi keanekaragaman yang Tuhan ciptakan. Keyakinan agama mempengaruhi pembentukan karakter generasi muda. Oleh karena itu, beragama dan memiliki pengalaman beragama yang baik merupakan keharusan bagi generasi muda. Oleh karena itu, keyakinan agama memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk karakter generasi muda.

Daftar Pustaka

Suparlan. 2010. Pendidikan Karakter: Sedemikian Pentingkah dan Apa yang Harus Kita Lakukan. (Online), (http://www.suparlan.com)

Jalaluddin, Psikologi Agama Memahami Perilaku Keagamaan dengan Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 25

Iwan Irawan