Setelah Tasawuf Modern, Kini Tasawuf Progresif (bagian 3/4 tulisan)
Oleh: Sitti Aaisyah
Tasawuf sangat penting dalam pembentuk akhlak atau karakter umat beragama. Agama di tangan tasawuf menjadi tidak kering karena pengamalan agama yang dogmatis. Sebaliknya, agama dengan pendekatan tasawuf akan menjadikan pemahaman beragama menjadi lebih basah dengan pengayaan makna yang plural dan luas. Seorang yang mempelajari tasawuf juga akan menjadi pribadi yang tidak arogan karena ia meyakini bahwa pendakian menuju Tuhan tidak bisa sampai dengan hati yang dipenuhi kesombongan. Bukanlah Iblis dibenci Allah karena tidak mengabdi kepadaNya, justru karena iblis merasa sebagai pengabdi yang terbaik, maka Allah murka padanya.
Sebagaimana ajaran tasawuf pada umumnya, yang pertama-tama dari akhlak adalah penguatan prinsip metafisis dan ontologis Tuhan, atau dalam Islam disebut tauhid. Dalam Islam, Allah dikenali sebagai yang al-Awwal wa al-Akhir, Alpha dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terakhir. Dialah pencipta seluruh semesta tanpa terkecuali, yang tiada satupun menyerupaiNya. Dia Allah yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan (QS. al-Ikhlas: 1-4). Maka apapun yang terjadi di dunia ini adalah seluruhnya berada dalam pengetahuanNya dan izinNya. “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (Qs. al-An’am: 59).
Dengan pondasi ketauhidan yang kokoh demikian melahirkan akhlak kepada Allah. Akhlak ini lahir dari kesadan ihsaniyyah, yaitu ketika beribadah sang hamba seolah-olah dapat menyaksikan Allah, namun jika dia tidak dapat menyaksikannya dia yakin bahwa Allah sedang menatap kepadanya. Kesadaran ihsaniyah ini menjadikan seorag hamba khusyuk dalam ibadahnya. Dalam hatinya hanya ada perasaan khauf (takut) dan raja’ (berharap), takut jika Allah tidak memandang kepadanya dan berharap Allah selalu memandangnya. Perasaan ini menjadikan seseorang selalu berada di spektrum yang mengambang, selalu merasa kurang dalam beribadah dan tidak pernah puas dengan pencapaian ibadah yang dilakukannya.