Setelah Tasawuf Modern, Kini Tasawuf Progresif (bagian 2/4 tulisan)

Oleh: Sitti Aaisyah

Hamka menyusun Tasawuf Modern sebagai tesis atas kehawatirannya melihat perilaku manusia di era modern yang cenderung materialis dan hedonis, mengejar dunia lalu meninggalkan ajaran Islam sebagai pegangan. Kalaupun ada yang berkepribadian religius dan sangat mencintai agama, mereka cenderung membenci hal keduniawian dan tenggelam dalam ritual ibadahnya tanpa peduli dengan keadaan sekelilingnya. Sesungguhnya polarisasi demikian bukanlah hal yang baru, dari dahulu kala telah ada jenis-jenis manusia demikian, yaitu yang sangat duniawi dan yang lainnya sangat ukhrawi. Namun, terkhusus di era modern ketika kehidupan bergerak begitu cepat dan setiap saat lahir hal-hal yang baru, potensi manusia untuk “lalai” menjadi begitu mudah. Hiburan yang sangat mudah diperoleh, ritme kehidupan yang begitu mekanik, dan kemampuan uang membeli segala sesuatunya, menjadikan manusia modern menjadi budak materi.

Melalui tulisannya Tasawuf Modern, Hamka menyeru orang-orang beriman untuk tidak mudah berputus asa dari Rahmat Allah swt yang tiada terbatas. Tidak mudah bersedih atas penderitaan yang dijalani, karena penderitaan itu menjadi suatu alat tempa agar manusia bisa menjadi lebih kuat dalam kehidupan. Begitupun untuk seluruh pencapaian, bukanlah karena keberhasialan sang manusia melainkan karena izin Allah segala sesuatunya terjadi di muka bumi. Ketika bahagia, harus dimengerti bahwa sumber kebahagiaan adalah Allah. Ketika bersedih, juga harus dikembalikan lagi kepada Allah. Tidak boleh sedikitpun terlepas dari ikatan Allah.

Tasawuf Modern Hamka adalah buku bacaan yang menjadi pengingat dan penghibur, pengingat bagi mereka yang berkutat dengan hal keduniawian agar ritme bergeraknya jangan sampai keluar dari spektrum nilai Islam, penghibur bagi mereka yang mengalami kejatuhan berkali-kali agar tidak bersedih dan melahirkan prasangka buruk kepada Allah atas nasib buruk yang sedang dijalaninya. Hamka juga membangun optimisme untuk menyeimbangkan urusan dunia dan akhirat, sebagaimana hadits Rasulullah saw, bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok. Sholat, puasa, sedekah, haji, dll adalah ibadah. Bekerja untuk kehidupan dunia pun juga adalah ibadah.

Sitti Aaisyah