Manusia Menurut Ambrose Bierce (Bagian 3/3 Tulisan)
Oleh: Sitti Aaisyah
Tindakan koruptif yang dilakukan oleh suatu oligarki mengandaikan adanya kebaikan bersama yang sedang dituju, meski hanya untuk segelintir orang tertentu saja, bukan untuk kemaslahatan rakyat keseluruhan. Dibandingkan dengan kisah perilaku koruptif lainnya seperti Robin Hood, Si Pitung, dan Sunan Kalijaga, mereka mencuri dari orang kaya yang hasil curiannya untuk dibagikan ke orang-orang miskin. Jika dianalisa melalui pandangan moral Kant dan Aristoteles, kedua kasus tersebut salah karena meski tujuan baik namun cara yang dipakai untuk mewujudkannya adalah salah. Dari pandangan utilitarianisme, semakin banyak yang menikmati kemanfaatan/kebaikannya maka tindakan itu lebih baik dari yang lainnya. Marxisme pun memberikan keberpihakan kepada kaum miskin papa, bahwa ketimpangan ekonomi yang dilahirkan oleh kapitalisme telah melahirkan kondisi yang salah sejak awal, sehingga pendistribusian ekonomi yang merata itu adalah kebenaran itu sendiri.
Ternyata, dunia pemikiran pun saling “bertengkar” menentukan teori kebenaran yang paling valid. Manusia pemilik kebenaran lalu menjadi begitu agresif memaksakan kebenarannya kepada yang lain. Atas nama kapitalisme, ekspansi ke negara-negara kecil menjadi absah demi kejayaan. Atas nama komunisme, ekspansi ke negara-negara kecil menjadi boleh demi mewujudkan komunisme internasional. Atas nama fasisme, Hitler dan Nazinya dibolehkan untuk membantai habis kaum Yahudi. Atas nama Agama-isme, suatu kaum boleh menindas kaum lainnya yang berbeda sistem keyakinannya. Semua atas nama panji kebenaran yang dipegang secara teguh. Sejarah terus berlanjut, meski hanya berganti tokoh, isme-isme tersebut masih terus bergentayangan di sekitar kita, diproduksi dalam otak-otak kecil manusia, diwariskan melalui narasi-narasi kebencian.
Ungkapan Bierce terdengar sayup mendayu-dayu di telingaku, “…..saking semangatnya berpikir mengenai siapa dirinya, manusia justru mengabaikan apa yang seharusnya dia lakukan sebagai manusia.”