Tantangan Terhadap Demokrasi Pancasila dan Jalan Keluarnya

Jakarta, Character-Building – “Semakin kuat dimensi agama dalam suatu isu, semakin mengental identitas diri atau kelompok. Jika semakin kuat aspek politik pada isu berdimensi agama tersebut, maka semakin keras pengentalan identitas itu”. Pernyataan ini dikemukakan oleh Halili Hasan, Direktur Eksekutif Setara Institute, Jakarta, dalam seminar yang diselenggarakan oleh Unit Character Building Development Center (CBDC) Universitas Bina Nusantara Jakarta (22/6/23).

Seminar yang mengambil tema “Demokrasi Elektoral berbasis Pancasila versus Identitas” ini di selenggarakan dalam rangka merayakan Hari Lahir Pancasila yang jatuh pada tanggal 1 Juni setiap tahunya.

Dalam materinya presentasinya, Halili Hasan mengidentifikasi beberapa gejala destruktif yang tentu menjadi tantangan terhadap demokrasi Pancasila. Gejala-gejala desktruktif itu antara lain;

  • Infiltrasi ideologis
  • instrumentasi doktrin keagamaan untuk kepentingan politik partisan
  • Penetrasi pasar atau kapital yang mendorong
  • penguatan ekstremisme politik keagamaan
  • Deideologisasi Pancasila serta indoktrinasi anti demokrasi dan anti budaya/kearifan local
  • Ancaman yang lebih besar dapat kita baca dari data tentang fenomena anti Pancasila di kalangan aparat sipil negara (ASN). Laporan survei Alvara Research Centre (2017) di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar menunjukkan, 19,4 persen pegawai negeri sipil (PNS) anti Pancasila
  • Fenomena anti Pancasila yang merambah lingkungan birokrasi pemerintahan merupakan paradoks serius. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional, ASN sebagai pelayan publik harus loyal terhadap Pancasila.
  • Terjadi fenomena penurunan dukungan terhadap Pancasila di kalangan publik. Survei LSI pada 2018 menjelaskan penurunan drastic dukungan publik terhadap Pancasila, yaitu di angka 75,3 persen, padahal dalam survey tahun 2005 dukungan kepada Pancasila mencapai 85,2 persen. Artinya, dukungan terhadap Pancasila mengalami penurunan sekitar 10 persen selama 13 tahun terakhir. Jika tren tersebut berlanjut, maka ke depan tantangan kebangsaan kita akan semakin berat.

Untuk menghadapi gejala-gejala destruktif itu, Halili Hasan menawarkan beberapa solusi berikut;

Pertama, imunitas dan resiliensi. Pada level kultural kita harus meningkatkan imunitas dan ketahanan masyarakat (social resilience and immunity) melalui peningkatan literasi politik dan penguatan kapasitas demos.

Kedua, membentengi generasi muda. Substansiasi pendidikan politik dan promosi inklusi politik demokratis diperlukan untuk membentengi anak-anak muda kita: dari berbagai potensi radikalisasi dan konservatisme serta penguatan potensi ekstrimisme dengan kekerasan (violent extremism); Dari penularan politisasi identitas keagamaan untuk kepentingan elektoral, khususnya di kalangan para pemilih pemula (young voters).

Ketiga, penguatan struktur. Pada ranah struktural, pemerintah sebagai aktor kunci harus melakukan beberapa hal berikut;

  1. Penegakan hukum.
  2. Harmonisasi peraturan perundang-undangan
  3. Peningkatan kapasitas aparatur negara dalam tata kebinekaan.

 

 

Yustinus Suhardi Ruman