Solusi Problematika Politik Identitas

Jakarta, Character-Building – Politik identias di Indonesia mengalami gejala fluktuatif. Hal di kemukakan oleh oleh Prof. Prof. Firman Noor, MA, PhD pada seminar dalam rangka perayaan Hut Lahir Pancasila 1 Juni dengan tema, “Demokrasi Elektoral berbasis Pancasila versus Identitas” yang selenggarakan oleh Unit Character Building Development Center (CBDC), Universitas Bina Nusantara (22/6/23) Jakarta.

Mengutip dari berbagai penelitian, Prof Firman menunjukkan fluktuasi politik Identitas di Indonesia;

  • Hasil Kajian Pusat Penelitian Politik LIPI (2019) 2019): Survei publik : 54,2 % responden tidak sepakat jika isu agama digunakan dalam politik .
  • Survei Lembaga Kajian Strategis dan Pembangunan (2023): 1,5% responden yang menjadikan alasan religiusitas untuk memilih partai
  • Hasil Kajian CSIS mengenai Proyeksi Politik Identitas dalam Pemilu 2019 menunjukkan ketidakefektifan pemanfatan politik identitas (Fernandes, 2018).
  • Sebelum 2017 bahkan politik Identitas mengalami penurunan Mietzner & Muhtadi , 2018).

Meski eksistensi politik identitas cenderung belum mendapatkan tempat yang kondusif dalam proses elektoral di Indonesia, Prof. Firman menegaskan bahwa potensi  politik identitas tetap harus diperhatikan. Dalam konteks ini, Peneliti Utama, Pusat Riset Politik BRIN itu mengajukan beberapa solusi berikut untuk menahan bertumbuh dan berkembangannya politik identitas di Indonesia.

Pertama. Pembenahan lingkungan politik yaitu;

  • Menghilangkanalasan-alasan (legitimasi) kebangkitan politik identitas
  • Menghamba tagency atau penggiat/provokator politik identitas, baik yang bersifat langsung (latent) ataupun tidak langsung (manifest).
  • Pembangunan dan pelestarian negara bangsa (nation-state) dalam semangat pengakuan, bukan penindasan, atas kemajemukan masyarakat.
  • Penciptaan aturan-aturan main yang makin melindungi setiap WNI dari sikap diskriminasi baik atas nama etnis maupun agama.

Kedua. Kepemimpinan Politik. Kepempemimpinan politik harus inklusif/merangkul, partisipatif/dialogis, mengingatkan demokrasi substansial, menjauhi politik identias (sempit) dan penegakan hukum.

Ketiga. Edukasi Politik yaitu mindset multikulturalisme, civic identity (National solidarity), dan spirit republikanisme.

Keempat. Pembenahan Partai Politik. Politik identitas kerap hadir dalam kontestasi politik. Proporsionalitas politik identitas perlu dijaga agar tidak menimbulkan akses negatif. Pendidikan politik kepada kader dan masyarakat untuk memperkuat toleransi perludi kembangkan, sekaligus menghindari jualan politik dentitas.

Kelima. Kewaspadaan saat kontestasi. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan kewaspadaan kontestasi ini.

  • Penegakkan hukum yang adil, tegas, ringkas dan membawa efek jera. Termasuk di dalamnya badan pengawas pemilu dan Gakkumdu yang berintegritas dan profesional.
  • Pelibatan yang luas elemen-elemen masyarakat (termasuk civil society) sebagai active-participatory yang mengawasi terjadinya tendensi politik identitas yang negatif.
  • Dibangun sebuah mekanisme pelaporan yang efektif dan sistematis terkait dengan tendensi politik identitas yang negative termasuk hate speech, hoax, ect, sebagai bagian dari penegakkan hukum pelaksanaan kontestasi elektoral.
Yustinus Suhardi Ruman